on Kamis, 01 Oktober 2009
Nikah, sebuah kesakralan dari dua sejoli yang sedang atau bahkan tidak pernah sama sekali memadu kasih dan mungkin juga, saling mencintai. Mungkin juga sebuah puncak dari “akad nikah” sebelumnya yang pernah terucap dari “syariat agama gaul”, alias jadian. Tapi ada apa dengan nikah? Membingungkan dan bimbang mungkin bagi sebagian orang. Terasa mengasikkan hingga menyesalinya bagi sebagian yang lain. Atau mungkin menyakitkan hingga tak ingin mengulanginya bagi lain lagi seseorang. Tak apalah jika demikian karena memang sudah seharusnya demikian…

Pernah suatu ketika disebuah infotaintment diberitakan sepasang kekasih yang menikah siri. Sungguh rapat mereka menyipan rahasia hingga berbulan-bulan hiingga akhirnya tercium media. Saat “terbongkar “ (mungkin seperti itu, dengan asumsi saya berprasangka baik tak ada rekayasa popularitas), saat itulah diketahui berbagai kebohongan-kebohongan publik yang mereka lakukan (setidaknya seperti itulah menurut media-media). Lantas adakah sesuatu yang menarik dari hal ini??

Pertama, adalah mengenai nikah itu sendiri. Nikah apapun bentuk dan variannya, telah berkembang sedemikian rupa sehingga terkadang kita menemui distorsi makna dari pernikahan itu sendiri. Siapapun sepakat kalau nikah adalah sebuah ikatan suci yang dilakukan dua orang laki-laki dan perempuan. Dari ikatan suci inilah kemudian akan diimplementasikan visi misi yang telah terumus sebelum atau sesudah pernikahan. Dari ikatan suci inilah relevansi hasrat keberpasangan kita tersalurkan. Dari sini pula, regenerasi genital, moral, spiritual, dan intelektual dilakukan. Hingga kita berada pada suatu titik yang bisa kita ambil sesungguhnya betapa mulia tujuan dari pernikahan itu sendiri. Meskipun tidak bisa dipungkiri pula tujuan-tujuan seperti adalah subyektif dengan memperhatikan berbagai kualitas, mulai dari intelektual sampai kepribadian, orang-orang yang bersangkutan. Dan hendaknya tujuan-tujuan yang mulia ini tidak dirusak oleh ambisi-ambisi dan kesenangan-kesenangan yang mungkin saja hanya bersifat sesaat.

Saat dua sejoli pesohor tadi diwawancarai, dengan pernyataan penuh kemantapan, dengan lantang mengatakan daripada berzina lebih baik menikah, begitu kurang lebih. Hingga terpikir, apakah demikian nikah itu, sekedar “legalilasasi zina” dengan tujuan-tujuannya yang maknawi yang bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan. Bagaimana tidak, saat perzinaan semakin merebak dengan keasyikannya (katanya), nikah dianggap sebagai jalan halal dalam melakukan “zina”. Inilah yang terjadi dimasyakarat kita. Nikah seakan hanya dianggap sebagai halalisasi dari hal-hal yang sebelumnya diharamkan. Apakah juga bisa dianggap sebagai logika kemunafikan, saya rasa anda-anda semualah yang lebih berhak menjawabnya… Anggap saja mereka telah bersiap dan memang telah menyiapkan segala sesuatunya yang dibutuhkan untuk mengarungi bahtera rumah tangga, mulai dari moral, spiritual, sampai materi, tapi bagaimana dengan kenyataan disekitar kita. Hingga puncaknya mungkin kita terpikirkan, mengapa kita menikah??? Tak tahulah, karena niat memang urusan hati, dan sebenar-benarnya urusan hati siapa yang tahu pula kecuali hanya dia dan Tuhan.

Yang kedua, adalah mengenai kesiapan. Dua orang pesohor tadi, yang notabene telah nikah muda, karena sama-sama dibawah 25 tahun, ternyata mempunyai kesiapan mental yang luar biasa karena telah memutuskan untuk menikah siri, setidaknya dan anggap saja seperti itu karena siap menghadapi tekanan-tekanan yang mungkin akan ada. Dan sekali bagaimana dengan orang-orang disekitar kita?? Akan menjadi masalah apabila merasa siap menikah padahal menurut rumusan-rumusan umum dia belum siap menikah, begitu pula sebaliknya. Dengan tujuan-tujuan mulia dari pernikahan, haruskah itu dinodai dengan misalnya sekedar kekhawatiran akan status.

Hingga pada akhirnya semoga kita terjebak,yang oleh Foucault disebut dengan trisabda puritanisme modern; pantangan, ketiadaan, dan kebungkaman…