on Selasa, 03 Agustus 2010
Mungkin sekedar basa-basi selayaknya aktivitas yang seringkali ditemani seduhan biji-biji kopi, atau bisa saja sebuah obrolan ringan dimana ada hal besar kadangkala bermula. Dan riwayat biji-biji kopi, tak terukur rasa terimakasih kita untuknya, yang rela menghancurkan tubuhnya (atau dengan terpaksa menghancurkan, agar ada yang namanya pertukaran) untuk sekedar menemani malam kita, menemani senda gurau bersama kawan dan karib terkasih, tapi apakah ia bermula dengan indah pada awalnya jarang dari yang mungkin mengetahui.

Dari Sidikalang, Brazil, Dataran Afrika, dan sedikit Jawa tentu saja. Tentang suatu kearifan lokal bagaimana biji itu bermula. Kadang tanpa sentuhan modernisasi, meski jelas tak bisa melepaskan diri dari kungkungan kapital. Dari dari kapital semua ini bermula. Dari sebuah hasrat, dari kelangkaan, pada akhirnya terjadi apa yang kita namakan dengan pertukaran. Tapi apakah ini sebuah pertukaran yang adil satu sama lain, ataukah penghisapan yang pada akhirnya melahirkan keterasingan-keterasingan, yang barangkali akan membawa kepada sebuah analisis kritis mengenai keteraturan sebuah pasar. Ya, barangkali kata kuncinya adalah pasar. Pasar yang bebas, pasar yang dibebaskan, atau justru pasar yang mungkin bebas??

Sejenak bisa kita lihat fakta berikut, bahwa petani-petani tak mampu membeli kopi yang ia tanam sendiri di kafe-kafe kopi bagi saya adalah sebuah ironi. Barangkali bukan wilayah petani untuk menikmati kopinya dikafe, karena petani tentu saja tidak membutuhkan obrolan tentang harga saham yang bisa saja digoreng oleh spekulan mata duitan. Ceteris paribus tentu saja masih berlaku karena kompleksnya veriabel. Tapi dimanapun sebuah perumpamaan hanya butuh satu pembuktian, bukan sikap kritis, dan nyatanya cukup sah ironi ini. Bagaimana bisa negara saudagar bisa lebih makmur dari negara penghasil. Bagaimana bisa spekulan komoditas yang tiap hari hanya duduk bisa lebih menikmati margin daripada petani. Seakan-akan dari cucuran keringat petanilah sang saudagar bisa terus meneruskan hegemoninya dan hasrat foya-foya si spekulan dibiayai. Sedangkan petani masih sibuk memikirkan bagaimana caranya menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi yang bisa seharusnya saja lebih murah, siapa lagi penyebabnya kalau bukan birokrasi. Entah koruplah, entah gobloknya, entah aroganlah, entah...Dan tentang kafe-kafe, bahkan secangkir kopinya bisa untuk membeli belasan bahkan puluhan bungkus bubuk kopi kemasan.

Nyatanya tidak bisa menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Selalu saja ada kelangkaan. Kafe-kafe tentu saja mengandung lebih banyak kelangkaan dari pada warung kopi pinggir jalan karena keeksklusifannya. Dan nyatanya petani sekali lagi kurang bisa menikmati margin kelangkaan yang diperjualbelikan. Mungkin masih bisa diperdebatkan, karena harga secangkir kopi masih terdapat biaya pencitraan, gaji barista, dan masih banyak lagi, tak lupa tentu saja biaya kelangkaan, bahkan mungkin biaya eksternalitas yang ditanggung para konsumen. Dan kalaupun itu benar, dan harga yang ditawarkan memang wajar, masih saja ada ironi, karena nilai-nilai kopi yang telah cukup berhasil dikomoditaskan. Pertarungan ide menjadi penting dan kreativitas hanya bisa dimunculkan oleh masyarakat yang terpelajar.

Selanjutnya mengenai regulasi, bagaimana menghasilkan komposisi harga yang lebih adil dan perlindungan bagi hak-hak kaum marjinal. Tapi regulasi dan pelaksanaan yang ada kadangkala melahirkan mentalitas foedal-borjuis yang seringkali justru kontraproduktif dengan maksud semula. Birokrasi sangat identik dengan inefisiensi, tapi tentu saja tidak bisa menyerahkan apa yang seharusnya menjadi wewenang negara kepada mekanisme pasar. Disinilah demokrasi diperlukan. Demokrasi yang sehat, dan tentu saja demokrasi yang berkeadilan sosial. Keterbukaan informasi juga tak kalah penting. Tapi justru kadangkala sumber-sumber informasi inilah terjadi penggiringan opini publik dengan segala maksud dan tujuannya. Untuk itulah diperlukan pembangunan intelektualitas personal yang kredibel dan berkualitas, meski tidak menjamin akan menghilangkan masalah-masalah yang ada, terutama masalah inefisiensi. Bukan dunia namanya kalau tanpa masalah. Hingga pada akhirnya, semua orang akan tersadar, hanya orang-orang yang memiliki ide dan mewujudkannya yang akan mengusai dunia.