on Selasa, 20 Agustus 2013
…..
Suara ilahi memenuhi langit, sehingga Rama tidak mendengar sorak sorai hadirin yang menyambut kemenangannya. “Rama, apa artinya cinta yang kau dapat dengan panah yang harus ditarik dengan gandewa? Gandewa itu adalah kehidupanmu sendiri, yang harus kau tarik dan kau berikan bila cinta menuntutmu demikian. Itu berat Rama, sebab siapakah yang mau melepaskan kehidupannya. Lihatlah para raja yang gagal menarik gandewa, karena sebenarnya mereka tidak merelakan hidupnya. Tapi bila kau mau melepaskan hidupmu dengan jujur, anak panah itu akan melesat dengan sendirinya dan mengenai sasarannya. Dengan kerelaan akan kehidupanmu itulah, maka seseorang bisa terpanah hatinya.”

“Tapi ingatlah Rama, bahwa agungnya cinta tidak dapat digambarkan seperti apapun. Cinta selalu lebih besar daripada segala-galanya, termasuk hidupmu sendiri. Maka jangan kau merasa sudah menguasai cinta dengan anak panahmu yang telah mengenai sasarannya, tapi sebaliknya pasrahkanlah dirimu kepada cinta untuk dikuasainya.”

“Karena itu Rama, jangan kau mengelak bila cinta kelak menuntutmu untuk menderita. Kini kau berdiri di bawah permadani emas dari hari-hari kebahagiaanmu, tapi sebentar lagi justru cinta yang akan menuntunmu ke dalam samudera yang penuh dengan penderitaan. Kau kini merasakan kepahitannya. Seperti dikatakan pendeta di hutan ang meramalkan hidupmu, kebahagiaanmu hari ini adalah awal dari penderitaanmu, demi tugasmu sebagai titisan Batara Wisnu.” Suara langit bicara dalam keilahiannya.

Suara mengesankan itu tiba-tiba menghilang. Dan terdengar hiruk-pikuk di sekitar halaman istana. Hadirin bersorak-sorai menyaksikan kemenangan Rama. Rama seperti tersadar dari mimpi dan tiba-tiba berdiri dihadapannya Prabu Janaka dan putrinya Dewi Sinta. “Biarlah dewa-dewa menjadi saksi kemenanganmu. Inilah putriku Sinta, cintailah dia lebih dari hidupmu sendiri. Semoga ia menjadi kekasihmu yang setia. Jadikanlah dia teman dalam setiap perjalanan hidupmu. Bahagiakanlah putriku ini, dalam kesenangan maupun penderitaan. Satria, terimalah anakku,” kata Prabu Janaka

….. 

(dikutip dari Anak Bajang Menggiring Angin; Sindhunata) 
Bukan itu sebenarnya yang ingin kulakukan. Kurasa kau pun demikian. Ada orang-orang disekitar kita yang konon katanya adalah obyek dari dunia yang ingin kita ciptakan. Tetapi diakui, sebenarnya tak bisa serta merta begini, karena adil adalah syarat untuk menjadi. Bukan hanya indah manis diucap dan pelengkap dari penghibur hati tetapi juga untuk sebuah keterikatan yang dinamakan janji.

Jikalau ada kata-kata umpatan, tak apalah itu dialamatkan padaku. Bukan hanya tentang apa yang pernah kulakukan, tetapi juga atas apa yang tak bisa kulakukan. Maklum adalah pembelaan, semacam penghibur bagi ketidakmampuan. Dan jika kau bilang aku lemah dan linglung..ku balas kau; ku bilang kau canggung hadapi duniamu. Untung kau diam..mungkin kau pikir aku lebih baik darimu. Barangkali terperangkap propaganda kesan yang sering ku paksakan. Tapi tak bisa kupungkiri saat itu, kutangkap juga kesanmu setelah kau berikan kesan-kesan itu. Bertanya pula sebenarnya apakah kesan itu hanyalah untukku. Tak banyak kupikirkan memang, karena yang ada dibenakku adalah kesan itu benar ada padaku. Kutangkap dan jadilah kupasang perangkap. Kau pun terpasung… mampus!

Ah maaf.. sebenarnya tak ingin ku mengumpat. Hanya sekejap euforia kegembiraan setelah kekalahan. Meski juga bukan tentang kemenangan, karena aku tak tahu apa arti menang jika kalah sekaligus ada padaku. Dan aku masih kalah sebenarnya, sembari merangkak menyusun harga diri. Musuh-musuh itu terkadang masih hinggap menyusup saat mata mulai terpejam diwaktu malam. Aku patah hati..

Acuh, aku mulai bercumbu dengan makna-makna itu. Aku terbuai dan kadang terhanyut. Mungkin kau mengerti tapi tak cukup memahami. Pun kadang kutergoda bermain rasa dengan diriku; egois! Kali ini mungkin kau bahkan tak mengerti. Aku memahami akan ketidakmengertianmu. Tapi apakah itu perlu?? Ku yakin tidak. Karena kau, seperti aku, juga telah membuat duniamu sendiri. Ku acuhkan keacuhanku. Ku pikir sejenak meluangkan waktu untuk sisi lain diri. Ku dapat dan coba kumantapkan. Berlalu waktu dan saat hendak kuutarakan…. melayang dan ku dirundung malang. Manusia memang makhluk yang sering berpolah tingkah bersalah langkah.

Pada akhirnya ku tersadar… ternyata aku hanya melamun. Bukan merenung seperti si bijak kyai dan resi. Sedikit menyimpul dari lamunan gombal; Aku dan Kamu hanya manusia biasa yang masih bernafsu menguasai.