on Sabtu, 18 Februari 2012
Ada kawan bilang, wanita adalah ciptaan Tuhan yang paling indah. Entah apa maksud si kawan, yang jelas pada saat itu ia sedang terpisah jarak dengan kekasihnya. Jika Dewa bernyanyi Hawa tercipta didunia untuk menemani sang Adam, mungkin Hawa adalah ciptaan terindah Tuhan bagi Adam.

Dengan bahasa yang sama, mungkin sang kekasih dianggap ciptaan terindah bagi si kawan. Apakah keadaan yang sama juga berlaku sebaliknya bagi si kawan?? entah. Wanita seperti obat bius, membius logika..

Ada kawan bilang, wanita seperti candu. Dan ada Marx yang mengatakan agama adalah candu. Si kawan ini mungkin terinspirasi Marx. Apakah wanita juga menghisap seperti kaum kapitalis?? Bisa ya, bisa tidak..

Ada kawan bilang, wanita adalah neraka bagiku, mirip Sarte yang mengatakan orang lain adalah neraka bagiku. Adakah wanita menghambat kebebasannya?? Entah.. Sultan-sultan bahkan menikahi banyak wanita..

Dan kawan lagi bilang aku mencintaimu maka aku ada, syair pendek yang ditujukan untuk kekasihnya. Entah apa makna ada bagi dirinya. Apakah sama dengan makna ada Descartes yang mengatakan aku berfikir maka aku ada?? Dirinya yang lebih tahu..
Ada kawan lagi bilang wanita seperti pembangkit listrik tegangan tinggi. Hanya melihat tanpa bersentuhan pun bisa membuat badan menggigil selayaknya disetrum.. oooh…

Ada kawan juga bilang wanita seperti hantu. Barangkali ada, tapi tidak ada. Dan yang lebih banyak, tidak ada tapi dianggap seakan ada. Mengada-adakan bahwa wanita pujaannya ada untuk dia, padahal wanita itu tak ada sedikitpun untuk dia. Obat patah hati paling mujarab; manipulasi persepsi..

Dan ada kawan bilang wanita adalah misteri terdalam dialam ini. Tak ada kepastian sedikitpun tentangnya; bisa ya bisa tidak, entah, mungkin, barangkali,…sssshhhh…
on Rabu, 25 Januari 2012
Rusa itu sedang kebingungan. Di depan ada dua jalan, persimpangan yang membuatnya sejenak berpikir tentang perjalanannya sampai sejauh saat itu. Di jalan sebelah kiri terlihat daun-daun begitu menggiurkan. Muda dan tentu saja lezat. Belum lagi buah-buahan yang ditumbuhkan dari pepohonannya yang rindang. Rupanya sedang musim semi, musimnya kehidupan. Musimnya alam menumbuhkan dan mencari jati dirinya. Kemudian dialihkan pandangannya ke sebelah kanan. Biasa saja dedaunan dijalan ini pikirnya. Memang sedang tumbuh dedaunan muda, tapi tampaknya tak selezat dijalan satunya. Meski belum pernah merasakan, karena inilah perjalanan pertamanya di daerah itu dan tumbuhan itu memang hanya tumbuh disitu, tetapi sesepuhnyalah yang berkata demikian. Belum lagi tambah sesepuhnya, tak jauh dari persimpangan ini bukan rimbun dedaunan yang akan ia temui, melainkan hanya ladang tandus.

Sejenak ia teringat Prabu Salya yang disambut aneka rupa jamuan dan buah-buahan oleh prajurit Duryudana diperjalanannya ke Upaplawya hingga akhirnya berperang dipihak Kurawa. Jangan-jangan ini hanya muslihat. Muslihat dari alam yang bisa saja mengalihkan tujuan perjalanannya, sebuah tujuan besar dan mulia. Bukankah ia harus sampai di perkampungan menyelamatkan kaumnya yang banyak tertawan petani?? Dan jalan sebelah kanan inilah yang akan membawanya kesana. Sejenak ia berfikir menyeimbangkan itu semua, karena ia pun butuh makan dan tentu saja ia menginginkan bekal yang sesuai dengan selera hatinya. Pun demikian ia tak ingin melanggar pesan sesepuhnya karena bagaimanapun juga merekalah yang lebih tahu tentang seluk beluk hutan ini.

Tetapi bukankah sesepuhnya belum pernah sampai ke jalan ini?? Cerita dedaunan muda ini hanya diceritakan turun temurun. Memang ada pula yang pernah membawa dedaunan ini sampai ke kampung si rusa. Tetapi pikir si rusa, dia nya saja yang tak pandai memilih, karena saat itu ia membawa dedaunan yang tak tahunya ada ulat bulu. Kalaupun ada ulat bulu, dengan kesabarannya menunggu bukanlah ia juga bisa jadi kupu-kupu yang indah? Dan saat itu, bukan kepuasan, tetapi jusru petaka yang ia dapat yang sesaat menggemparkan penghuni kampung rusa.

Sebenarnya tak terpikirkan akan ia bawa
dedaunan dari jalan kiri ini, sampai saat ia melihat seranting daun yang menggoda hatinya. Beraduk rasa ia rasakan, antara keinginan dan tujuan. Yang jelas ia harus segera menunaikan amanat kaumnya. Kalau tidak, bisa jadi kawan-kawannya yang tertawan sudah terpanggang menjadi lauk di meja petani.

Tiba-tiba ia melihat gerombolan pipit terbang disekitar dedaunan. Tatapannya terlihat serius menatap ranting yang menggoda seleranya itu. Sempat was-was, jangan-jangan ia hinggap disitu dan merusak dedaunan. Sesaat ia lega karena tak jadi pipit hinggap disitu. Belum selesai ia menghela nafas, datang burung elang. Seperti halnya burung pipit, matanya tajam mentap ranting itu. Takut elang hinggap dan merusak dedaunan. Pun demikian ia lega karena elang tak jadi hinggap. Bisa jadi inilah isyarat pikirnya, bahwa ranting itu memang ditakdirkan untukku. Mantaplah langkahnya memilih ke jalan kanan. Meski sedikit menunda seleranya, tapi bukankah ia bisa jadi bekal perjalananku pulang? Akan kupetik dedaunan diranting itu setelah selasai ku tunaikan amanat kaumku. Akan ku bawa ke kampung rusa, dan akan ku buktikan bahwa daun ini lezat dan tak berbahaya. Berjalanlah si rusa dengan riang dan penuh semangat. :)
on Selasa, 24 Januari 2012
Anak ayam suatu ketika akan besar dan menjadi pejantan yang siap diadu atau betina yang siap dibuahi untuk bertelur dan bertelur. Begitu juga si jantan anak harimau, suatu ketika akan tumbuh menjadi harimau dewasa dengan taring runcingnya yang bersiap menerkam rusa dikala lapar. Bayi mungil itu suatu saat juga akan menjadi pria dewasa, yang tentu saja akan banyak tanggungjawab yang akan diembannya. Menjadi berani, menjadi pecundang, menjadi kaya, menjadi miskin ada yang bilang kita bisa menentukan, bisa memilih dan tentu saja, harus bersiap, bisa untuk puas atau kecewa.

Menjadi tentu saja terikat oleh waktu. Menjadi itu disuatu waktu untuk kemudian menjadi sesuatu yang lain dimasa yang lain pula. Waktu ibarat menjadi saksi akan kemenjadian sesuatu, meskipun tak ada yang benar-benar bisa memastikan apakah waktu diluar dari kemenjadian, yang mengamati proses tanpa suatu ekspresipun atau justru ia adalah bagian dari kemenjadian itu dan oleh karenanya ia adalah menjadi itu sendiri.

Menjadi adalah simbol dan bukti nyata dari perubahan. Dengan menjadi, perubahan bisa “dirasakan”. Sebuah perubahan yang disadari tentu saja akan menghasilkan menjadi yang berbeda dengan perubahan tanpa kesadaran. Tidak bisa dipungkiri terkadang memang dibutuhkan semacam katalisator. Pada tahap ini, kesadaran akan kehadiran katalisator menjadi penting agar tidak terjebak pada semacam penggiringan. Semisal anak harimau yang, tentu saja tidak sadar akan perubahan yang menimpa dirinya, karena memang ia diciptakan demikian; kemenjadian seorang manusia tentu saja berbeda. Jikalau hewan dan makhluk-makhluk “tanpa” rasio hanya sebagai objek dari sebuah “hukum” kemenjadian yang digerakkan misalnya oleh alam, manusia dengan kesadarannya bisa menjadi objek sekaligus menjadi subyek dari proses menjadinya.

Bukan suatu yang mudah untuk membangkitkan kesadaran, karena itu kompleks. Tiap manusia terutama yang bersosialisasi tentu saja memiliki sebuah sikap mental yang khas, yang dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tumbuh dan dibesarkan. Belum lagi dengan karakteristik manusia, entah intelektual maupun emosional, yang mempunyai kekhasan antara satu manusia dengan yang lain, juga membuat proses menyadaran menjadi kompleks. Tentu saja juga tidak bisa menyadarkan satu orang perorang. Oleh karenanya kesadaran harus dibangkitkan secara massal.

Dan menjadi sekali lagi sangat ber-waktu. Sadar diperlukan agar tidak tergilas waktu, karena sadar berarti menaklukkan waktu, entah itu waktu yang lampau atau waktu sekarang berproses. Manusia yang dipercaya sebagai makhluk sempurna, tentu saja harus membuktikan kesempurnaan itu. Kesempurnaan disini adalah kesempurnaan dalam konteks kefanaan, karena manusia hidup didunia, dan oleh karenanya ia sangat terikat oleh waktu. Terikat oleh waktu berarti ia menjadi. Maka kesempurnaan bukan berarti stagnasi. Kesempurnaan adalah proses menjadi, dengan kata lain kemenjadian adalah bukti kesempurnaan manusia. Tanpa menjadi, jargon manusia makhluk sempurna adalah slogan kosong, sebuah “pujian” yang tak pantas diberikan.