on Senin, 23 Februari 2009
Bahasa adalah rumah ada. Dan dirumahnya manusia tinggal. Mereka yang berfikir dan mereka yang mencipta dengan kata-kata adalah para penjaga rumahnya.(Martin Heidegger).

Dari penjelasan singkat ini dapat diambil kesimpulan bahwa kata sangat berperan dalam mendefinisikan dan mendeskripsikan sesuatu dengan segala keterbatasannya tentunya. Termasuk cinta. Cinta yang oleh sebagian kalangan dianggap sesuatu yang absurd mampu diimajinasikan dengan baik dengan kata-kata. Dan karena itulah muncul anggapan bahwa cinta memang harus diungkapkan(??).

Dilain pihak adalah Sartre dengan pernyataannya;”eksistensi mendahului esensi”. Disinilah menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, yang memiliki eksistensi, dalam lingkungannya. Termasuk cinta. Cinta menurut hemat saya bermula dari manusia dengan segala keadaannya dengan kondisi sosio kultural yang menyelingkupinya. Atas dasar inilah apabila kita kaitkan dengan paragraf diatas ada keterkaitan yang menarik, bahwa cinta dengan beberapa bentuknya yang sederhana, termasuk cinta sepasang manusia, karena melibatkan manusia sebagai subyek cinta, memang harus diungkapkan apabila esensi dari cinta dalam kaitannya dengan keberadaan manusia sebagai makhluk yang mendambakan cinta, memang ingin diketahui.

Suara kehidupanku memang tak akan mampu menjangkau telinga kehidupanmu; tapi marilah kita cuba saling bicara barangkali kita dapat mengusir kesepian dan tidak merasa jemu.(Kahlil Gibran)
on Jumat, 06 Februari 2009
Pertanyaan yang sering muncul dari setiap sudut otak menusia salah satunya adalah mengenai problem eksistensi. Seberapa sadarkah kita mengetahui tentang eksistensi kita sendiri? Seberapa dalamkah kita faham tentang makna keterjadian kita?

Bermacam pemikiran tentang hal ini telah diutarakan. Dan kesimpulan yang didapat tetap saja normatif dan cenderung kasusistis, karena jawaban hasil dari kontemplasinya cenderung tersegmentasi dan sangat jauh dari kesan menyeluruh. Hal ini bisa kita maklumi, dan sejauh ini harus berjalan demikian, karena suatu perenungan ada karena ada kondisi eksternal kejiwaan maupun sosio-kultural yang menyertainya. Sebagai misal, tak mungkin ada suatu teori nilai lebih apabila Karl Marx hidup dalam suatu masyarakat buruh yang makmur dan diperlakukan adil (adil menurut Karl Marx tentunya). Oleh sebab itulah hasil perenungan ini cenderung bersifat subyektif. Seperti yang diutarakan Jespers bahwa sebagai subyek kita berbeda-beda, maka dalam pengamatan kita terhadap dunia kita masing-masing akan berbeda-beda pula.

Melalui proses perenungan yang bermuara pada kesubyektifan manusia inilah eksistensi manusia dapat teraktualisasi. Manusia sebagai kenyataan subyektif ini berkaitan erat dengan titik tolak bahwa manusia adalah sumber dari segala pengamatan. Seperti yang diutarakan oleh Soren Kierkegaard, bahwa yang konkret dan yang nyata adalah apa yang individual dan subyektif, bukan apa yang dipukul rata dan obyektif. Dan sekali lagi, rumusan diatas muncul atas suatu pemikiran yang berkembang pada saat itu, bahwa sesuatu yang dinyatakan sebagai kebenaran, harus dapat dinyatakan sebagai suatu pemikiran yang pasti. Disamping itu, sesuatu pemikiran tentang kenyataan haruslah dinyatakan dalam rumus-rumus yang berlaku umum. Apa yang universal itulah yang mendapat tempat, bukan yang partikular. Disinilah obyektifitas mendapat tempat yang cukup nyaman.

Menurut uraian diatas, tidak memilihpun sudah merupakan suatu pilihan, sejauh tidak memilih itu ada argumentasi yang baik ataupun yang buruk menurut dirinya. Dia yang tidak memilih itupun tidak bisa dikatakan sedang mengalami kebingungan pada pailihan-pilihan yang ada dihadapannya, karena dengan berasumsi ia menggunakan logikanya secara rasional, maka tidak memilih tadi akan menjadi bermakna dalam artian ia telah mengalami aktualisasi dalam kaitannya dengan pilihan yang telah ia buat untuk tidak memilih.

Sebagai konsekuensi dari aktualisasi eksistensi manusia ini, interaksi manusia dengan lingkungan sosialnya dengan segala bentuknya menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat terelakkan lagi. Pemahaman akan peran sosial manusia menjadi sangat penting disini. Dalam agamapun sudah dijelaskan bahwa kedudukan manusia dibumi ini adalah sebagai pemimpin. Sebagai seorang pemimpin, maka kita dituntut agar menjadikan diri kita menjadi seorang pribadi yagn berkualitas, tidak hanya individual, tetapi juga sosial maupun kultural. Seorang yang berkualitas secara individual adalah manusia yang berilmu, yang dengan ilmu yang dimilikinya dia mampu menyerap, memproses, dan menciptakan ide secara baik dan berkualitas. Pada tahap ini ide dan ilmu baru sebatas memenuhi dahaga intelektual manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling berakal. Kualitas sosial adalah manusia yang mampu bermanfaat bagi masyarakat. Unsur terpentingnya adalah pengabdian. Manusia tidak hanya mempu mendialektikakan ide dalam dirinya sendiri, tetapi lebih dari itu harus mampu mengaktualisasikan dan mangimplementasikan dalam masyarakat. Kualitas kultural adalah kualitas manusia dimana ide-ide dan pemikiran manusia itu sudah mampu merubah kultur dan cara pandang masyarakat. Adam Smith, Karl Marx, adalah cantoh nyata manusia yang sudah mampu mencapai kualitas ini.

Masih berkaitan dengan eksistensi diatas, ada suatu kondisi menarik apabila kita dihadapkan pada suatu pertanyaan “siapakah aku?”. Pertanyaan yang terilihat cukup sederhana, tetapi sesungguhnya membutuhkan suatu pemaknaan yang dalam. Bisa saja dijawab aku adalah Abdul misalnya, karena namaku adalah Abdul. Tetapi apakah demikian halnya apabila namaku tidak lagi Abdul, atau bahkan aku tidak punya nama. Jawaban Abdul tentu saja sudah tidak relevan lagi atau dengan kata lain, Abdul itu sudah menjadi tidak bermakna. Pemaknaan terhadap eksistensi Abdul bisa diangggap telah gagal, karena Abdul kini sudah tidak bermakna lagi. Artinya tidak ada rasionalitas dalam mengeksiskan orang tadi menjadi Abdul hanya karena namanya Abdul. Dalam konteks inilah perlunya aksi dan tindakan nyata kita dalam kaitannya dengan aktualisasi diri kita sebagai makhluk Tuhan paling berakal.

Pemaknaan seharusnya tidak hanya melalui perenungan sesaat saja. Contoh sedarhananya, kita pasti punya atau setidaknya pernah punya suatu barang dalam kamar kita yang karena tidak berarti menurut kita jarang sekali kita memperhatikannya. Secara harfiah barang itu ada tapi apakah barang itu benar-benar ada masih perlu dipertanyakan. Dalalm artian apakan ia benar-benar ada dalam subyeknya sebagai benda tadi mesih perlu dipertanyakan. Begitu halnya dengan kita. Dalam suatu komunitas masyarakat selama kita masih hidup, secara harfiah pasti tidak ada yang menyangkal bahwa kita ada. Tetapi apakah kita akan benar-benar ada masih perlu dipertanyakan tergantung apa yang telah, sedang dan akan kita perbuat untuk masyarakat. Pada intinya eksistensi tidak hanya butuh suatu kontemplasi, tetapi lebih dari itu, yaitu suatu aksi. Dan ini menurut hemat saya menjadi sangat penting ditengah keseragaman yang melanda llingkungan kita dewasa ini.

Meskipun demikian, eksistensi ini bukanlah suatu tujuan akhir yang semata-mata hendak kita capai didunia ini. Dalam agama telah dijelaskan, Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu. Dan inilah hakekat tujuan utama kita hidup didunia. Beribadah itu sendiripun mencakup suatu pengertian yang sangat luas salah satunya mencakup hubungan sosial kita kepada masyarakat. Pada konteks inilah, penyadaran terhadap apa yang telah dan akan kita perbuat untuk masyarakat menjadi sangat penting.
Sering bagi kita menyimak berbagai hal tentang perubahan. Entah dalam lingkup pemerintahan negara maupun dalam hubungan antar personal kita sebagai entitas terkecil dalam masyarakat. Banyak orang berteriak-teriak tentang perubahan, entah menuntut diadakannya perubahan atau berjanji-janji manis akan melakukan perubahan. Entah mereka sadar atau tidak, paham atau tidak, yang jelas perubahan seakan sudah menjadi semacam komoditas, yang bisa dan siap dieksploitasi untuk kepentingan sesaat. Bahkan mungkin karena seringnya kita mendengar atau melihatnya dibicarakan orang, kata ”perubahan” itu sendiri seakan-akan menjadi tidak bermakna. Meskipun ada sebuah ungkapan bahwa yang abadi didunia ini hanya perubahan, tetapi apabila pemaknaan tentang perubahan tadi menjadi kosong bisa dibayangkan betapa tidak berartinya dunia kita, dan bisa dikatakan disini kita memasuki wilayah yang berbahaya karena terjebak oleh suatu penyakit yang disebut dengan stagnasi. Meskipun ada jargon-jargon tentang perubahan, hal itu tak lain adalah jargon kosong tanpa suatu substansi dan cenderung tidak konkret.

Suatu perubahan biasanya diawali dengan refleksi atas suatu realita sosial yang berkembang. Sehingga kunci dari perubahan itu sendiri adalah kemampuan kita merefleksikan realitas sosial itu secara proporsional, objektif dan kritis. Refleksi disini adalah proses analitis, dan outputnya adalah ide. Kita tidak sedang memerankan suatu lakon dalam sebuah sandiwara disini, dimana perubahan sebelumya telah diskenario sedemikian rupa, sehingga apa yang terjadi seperti apa yang diharapkan atau tidak meleset jauh dari apa yang dibayangkan. Disini ”perubahan” seakan-akan tampak benar-benar sebagai perubahan padahal tidak sama sekali.

Perubahan atas realitas sosial disini adalah sebuah proses yang ”alami”, dimana hubungan antar satu hal dengan hal lain dalan suatu komunitas sosio-kultural adalah saling kait-mengkait dan mempengaruhi. Proses refleksi itu sendiri bisa berjalan efektif apabila ada sebuah resistensi terhadap suatu kemapanan pemikiran yang dominan. Pada tahap inilah metode Hegel tesis-antitesis-sintesis bisa diaplikasikan. Sintesis dalam hal ini adalah sebuah hasil dari aspirasi tentang perubahan sebagai akibat hantaman antitesis tarhadap kemapanan pemikiran yang dominan dan berkembang (tesis). Selanjutnya sintesis inipun kemudian akan menjadi sebuah tesis yang baru yang siap untuk dikritisi oleh antitesis yang baru pula, begitu seterusnya. Mirip seperti yang dikatakan oleh Baruch Spinoza (1632-1677) bahwa dalam pikiran tidak ada kehendak mutlak atau bebas; namun pikiran diharuskan untuk menghendaki ini atau itu oleh suatu penyebab yang juga ditentukan oleh penyebab yang lain, dan penyebab yang lain itu juga ditentukan oleh penyabab yang lainnya lagi, dan seterusnya tiada terhingga. Untuk itulah mengapa proses dialogis terhadap kemapanan pemikiran yang dominan perlu dilakukan untuk dapat mengakomodir realitas sosial yang berkembang dan sebagai jalan menuju dinamisasi sosial.

Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu kita tegaskan dahulu, bagaimana kita mendefinisikan perubahan itu sendiri? Perubahan yang dipahami hanya sebagai asal berubah tanpa memandang substansi yang mengiringinya akan menjadi kontradiktif dan cenderung kontraproduktif. Perubahan hendaknya dipahami sebagai proses transformasi ide dan pemikiran kita yang kemudian dimanifestasikan dalam sebuah tindakan nyata. Tidak hanya berwacana, tetapi bagaimana ide itu bisa diimplementasikan ke dalam tindakan yang sebenarnya. Semakin rasional dan aplikatif ide itu maka semakin mampu menjawab kondisi realitas sosial yang berkembang, sehingga akan lebih bisa diterima masyarakat dan pada akhirnya mempengaruhi ide-ide personal sebagai bagian terkecil dari masyarakat itu sendiri. Dan akhirnya akan mendorong tumbuh kembangnya ide. Karena permulaan perubahan adalah ide, maka instrumen-instrumen sosial yang ada dalam masyarakat harus bisa menjamin dan mendukung tumbuh dan berkembangnya ide-ide tersebut, bila tak mau perubahan dilakukan secara radikal seperti saat peristiwa 98. Karena perubahan adalah suatu peristiwa alamiah, maka apabila suatu kondisi sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman, sekuat apapun distorsinya, cepat atau lambat perubahan pasti akan terjadi. Mengutip Angelus Silesius (1624-1677) bahwa semakin kita membiarkan setiap suara bernyanyi dengan nadanya sendiri, semakin kaya keanekaragaman nyanyian yang dilagukan dengan serempak.

Yang dimaksud rasional atas adalah menggunakan akal pikiran sebagai landasan ide dan kemampuan kita membaca realitas sosial yang berkembang. Seperti yang dikatakan Rene Descartes (1596-1650) bahwa dalam masalah-masalah yang hendak kita selidiki, penyelidikan kita haruslah diarahkan, bukan pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, juga bukan pada apa yang kita perkirakan sendiri sendiri, namun pada apa yang bisa kita simpulkan secara pasti, karena pengetahuan tidak bisa diperoleh dengan cara lain. Sekilas memang tampak konradiktif dengan cara hegel tesis-antitesis-sintesis. Tetapi sebenarnya tidak. Yang ada pertama adalah realita. Dari sini kita menggunakan pernyataan Descartes tadi. Maka akan timbul ilmu pengetahuan (baca:ide) yang baru. Dan tidak menutup kemungkinan hal ini akan dilakukan oleh banyak orang sehingga akan menghasilkan lebih banyak ide. Sehingga kemudian pertukaran pemikiran terjadi dan sintesispun akan terjadi. Dari sintesis ini dapat dijadikan rekomendasi untuk melahirkan sebuah perubahan. Inilah proses ”alami” itu. Tidak demikian halnya apabila kita sedang bersandiwara. Untuk itulah pertukaran pemikiran menjadi penting dan resistensi lebih penting lagi untuk menciptakan tata kehidupan yang seimbang. Agar proses-proses ini berjalan efektif diperlukan suatu iklim yang demokratis dan intelektual. Iklim intelektual diperlukan dalam upaya penciptaan ide. Dan secara singkat demokrasi diperlukan untuk menyemarakkan ide dan resistensi. Serta mencegah otoriternya penguasa sehingga sandiwara terhadap perubahan dengan otomatis dapat dicegah. Yang dimaksud resistensi disini adalah perlawanan ide. Resistensi perlu dikembangkan, selain tentunya perlu mengembangkan sikap toleransi atas perbedaan pendapat yang terjadi. Semakin banyak ide berkembang maka peluang keterjadian sebuah perubahan menjadi lebih besar dan lebih mampu menciptakan perubahan yang berkualitas. Bisa dibayangkan pula apabila dalam suatu komunitas dipimpin oleh otoritas yang begitu dominan, maka siapapun yang pasti tidak akan bisa menjamin akan terjadi sebuah perubahan berkualitas dan bisa mengakomodasi setiap kepentingan dalam komunitas yang dipimpinnya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah menciptakan sebuah sandiwara tentang perubahan sebagai sebuah formalitas untuk menciptakan suatu kondisi seolah-olah paham akan perubahan realitas sosial yang terjadi karena kekuasaan ada dan didapat untuk dipertahankan, tidak hanya lewat personal, tetapi meliputi juga kepentingan dan pemikiran. Pada akhirnya proses perubahan ini haruslah diarahkan kepada sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga bisa menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang lebih baik pula.

Lalu bagaimana dengan negara kita? masyarakat kita? Yang jelas kita percaya manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi derajadnya, yang dianugerahi akal dan pikiran yang paling baik kualitasnya. Adakalanya kita harus berfikir dan bertindak secara kritis dan objektif, meskipun pahit. Apalagi sebagai seorang mahasiswa yang notabene dibesarkan oleh tradisi intelektual yang kental, kejujuran kita untuk berfikir dan bertindak sangat diperlukan. Maka tak heran apabila ada yang mengatakan bahwa tanggung jawab intelektual adalah tentang pengabdian. Dan perubahan adalah salah satunya.

Bertindaklah sedemikian rupa sehingga selalu menghargai kemanusiaan, baik yang terdapat dalam dirimu sendiri maupun sembarang orang lain, bukan hanya sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan. Immanuel Kant (1724-1804)
on Kamis, 05 Februari 2009
Nilai apa yang terjadi belakangan ini menurutku cukup susah ditarik suatu korelasi hikmahnya kalau tidak mau dikatakan saya tidak bisa mengambilnya sama sekali. Ataukah mungkin itu terjadi karena terlalu banyaknya yang terjadi balakangan ini sehingga tak satupun terlintas dibanak saya. Tetapi ada satu hal yang menarik menurut saya, suatu kejadian besar yang menurut sebagian kalangan telah melanggar HAM, yaitu kekerasan dalam dunia pendidikan tinggi kita. Sebenarnya saya merasa tidak berkompeten untuk mengurainya, tetapi bagaimanapun juga itulah peristiwa terbesar belakangan ini yang ada benak saya. Pertama kali menyaksikan, terngiang suatu pertanyaan dimanakah jiwa pemberontakan kita. Saya kira semua orang didunia ini punya sis-sisi sepeti itu, Cuma bagaimana saja kita mengelolanya. Orang-orang macam Ra Kuti dizaman Majapahit atau seorang Ahmedinejad untuk masa sekarang bisa tergolongkan orang semacam itu terlepas apapun motifnya atau kondisi sosial masyarakat yang menyelingkupinya. Tentang kekerasan tadi, saya tidak akan berkomentar harus begini atau harus begitu, atau yang ini benar atau yang ini salah, saya hanya akan mengangkat nilai-nilai universalnya saja, yang tentunya saya menyadari itu tidak lepas daripada kesan subyektivitas saya pribadi.Seorang manusia harus manyadarkan dirinya sebagai seorang manusia yang berdasar berdasar nilai-nilai kemanusiaan pula. Pada titik permulaan ini saya kira kita semua telah sepakat mengenai hal ini. Cuma pertanyaan selanjutnya, bagaimana nila-nilai itu diaplikasikan pasti akan sangat beragam tergantung bagaimana kita memahami dan menafsirkannya. Dan pemahaman itupun bukan sesuatu yang berdiri sendiri yang seolah-olah turun dari langit kemudian membentuk karakteristik kita sebagai manusia. Bukan seperti itu tentunya. Ada faktor yang yang lebih besar yang berperan terhadap itu, yaitu kondisi sosio-kultural yang menaungi kebaradaan menusia tadi. Keberadaan sosio-kultural itupun juga bukan sesuatu yang instant, melainkan kristalisasi dari intelektualitas manusia yang terbentuk dari sintesis dari bermacam-macam lingkungan pendukungnya, contohnya kondisi geografis dan politis. Untuk itulah tidak mengherankan apabila seseorang itu menjadi berbudi pekerti yang luhur apabila dibesarkan dan dididik dalam kondisi yang seperti itu pula, tetapi jangan lupa bahwa integrasi nilai dan karakter tadi sangat bersifat dinamis. Bersambung……………………………
on Minggu, 01 Februari 2009
Sejarah, adalah sebuah realita yang tidak bisa terelakkan dari sebuah makna yang dinamakan kehidupan. Dengan segala keharubiruannya, sejarah tetap saja sejarah dan ia adalah bagian dari masa lalu. Dengannya manusia seharusnya bisa belajar bagaimana menghadapi dunianya. Karena bangsa yang besar (katanya) adalah bangsa yang menghargai sejarahnya dan manusia yang arif adalah manusia yang menghargai sejarah dirinya. Bukan saja sekedar sarana refleksi, tetapi lebih dari itu, kitalah yang membuat kegemilangan sejarah kita dimasa depan.

Sejarah manusia seringkali diwarnai dengan penindasan. Tak terkecuali bangsa kita. Bangsa besar yang seharusnya bisa menjadikan dirinya lebih besar dari sekarang. Sebuah bangsa yang tidak tahu mengapa, bisa menjadi terjajah lebih dari tiga abad lamanya. Dimana telah berhasil merasuk ke alam bawah sadar kita sebagai manusia merdeka bahkan sampai saat ini.

Penindasan dengan segala bentuknya pasti sangat menyesakkan. Lihat bagaimana bangsa kita menderita karena penindasan ini. Manusia sebagai subyek dari peradaban seakan-akan tidak lagi dihargai karena adanya penindasan ini. Dan lebih ironis, penindasan terhadap bangsa kita selalu saja dilakukan oleh mereka yang selalu menganggap bahwa dirinya adalah manusia beradab. Paling tidak sampai sejauh ini. Ironisnya kitapun mengembik begitu saja seolah tanpa pernah bersentuhan dengan anak peradaban yang dinamakan pendidikan. Atau ada yang salah dengan pendidikan kita? Yang jelas, kita sebagai manusia seharusnya mencipatakan sejarah kita sendiri, bukan serta-merta oleh dibuatkan oleh mereka. Dengan otak-otak kita sendiri, dengan tangan-tangan kita sendiri dan dengan harga diri kita sendiri, sebagai manusia yang memiliki sebuah peradaban kita sendiri, dan sebagai manusia sebuah bangsa yang besar, bukan sebagai manusia yang diberikan bangsa dan peradaban oleh mereka para penindas.

Penindasan sampai kapanpun akan mencelakakan. Dan lebih mencelakakan lagi tertindas tak pernah tahu behwa mereka ditindas. Penindas kini seolah-oleh sedang bersiap-siap menendang kita dengan salah satu dari kedua kakinya, bahkan sudah berani menyuruh kita menjilat ludah yang telah dimuntahkannya. Dan celakanya sebagian dari kitapun dengan suka hati melakukannya. Dan ironoisnya, sejarah seringkali memihak kepada para penindas. Dan pertanyaan kita, masihkah sejarah menisakan sedikit ruang untuk kebebasan? Seperti yang kita tahu, kebebasan adalah puncak pengharapan dari para tertindas. Sebuah pesimisme yang bias dan bisa membawa kita sedikit berimajinasi tentang bagaimana sebenarnya kebebasan itu. Ada yang bilang kebebasan bagi menusia adalah sebuah keniscayaan. Sebuah anugerah dan hak yang patut kita perjuangkan selayaknya kita berjuang untuk hidup kita. Dan yang pasti, sifat-sifat kemanusiaan kita telah dihargai dengan kebebasan itu.

Ada sebuah korelasi logis antara kebebasan dengan eksistensi kita sebagai seorang manusia. Bahwa dari kebebasanlah manusia sebenarnya mampu mengaktualisasikan dirinya secara mandiri. Tanpa bermaksud sangat mengagungkan kebebasan, tapi hendaklah kita menganggap kebebasan ini sebagai sebuah hak. Sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dpertahankan dan diperjuangkan. Karena dari sinilah kemerdekaan kita sebagai sebuah manusia dapat terakomodasi.

Pentingnya kebebasan ini dimulai dari penyadaran bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang dinamis. Sebuah kondisi yang mengisyaratkan adanya proses “menjadi” selama ia masih menyisakan umurnya didunia. Sadar atau tidak memang demikianlah kenyataannya dan itu adalah sebuah keniscayaan. Untuk selalu dalam proses menjadi inilah manusia memerlukan kebebasan. Proses “menjadi” ini sangat penting dalam kaitannya dengan aktualisasi akan potensi manusia sebagai makhluk Tuham yang paling baik kualitasnya. Apalah artinya kita dianugerahi potensi yang begitu hebat dari Tuhan, tetapi kita tidak mampu mengoptimalkannya. Sungguh sangat disayangkan apabila kita terjebak dalam kondisi yang demikian. Dan secara lugas adalah kesia-siaan dalam hidup!! Potensi adalah untuk dimaksimalkan dan dikembangkan untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dalam konteks ini, kebebasan akan menyadarkan dan memfasilitasi fitrah kita sebagai pemimpin dimuka bumi ini. Atas dasar inilah, segala bentuk penindasan harus dimusnahkan dari bumi kita, bumi manusia..

Kita dianugerahi kaki, untuk berdiri sama tingggi dengan mereka. Kita dianugerahi mata untuk memandang sampai sejauh yang mereka pandang. Kita dianugerahi tangan untuk membalas pukulan yang mereka berikan. Kita dianugerahi otak, untuk berfikir sama baik bahkan lebih baik daripada mereka.