on Jumat, 29 Januari 2010
Bahwa sambil lalu dia rasakan
Tak ingin tangan ini hanya mengepal
Bahwa seluruh tubuh dingin, menggigil
Dan sesaat dirasakannya hasrat..

Saat malam, saat hasrat-hasrat itu semakin menggila
Dan dia hanya berharap tak jadi persoalan dikehidupannya mendatang

Dia hanya ingin melawan…
Engkau, yang dengan gaya tiranmu seolah berkata kau tidak bisa dikalahkan
Dia ingin melawan dan benar-benar melawan…

Menggertak..satu dua kali dan dia hanya menggertak
Dan bahkan ia tak tahu apa ia punya kekuatan
Dia ingin melawan dan terus melawan…

Perjalanan, kehidupan; setali dalam rangkaiannya yang mencemaskan
Ketakutan, kebengisan datang silih berganti
Mengumbar bermacam visi
Seolah dan seolah…hanya ada satu siang yang benar-benar siang

Kalahkan hatimu
rebut simpatinya..agar kau tau cara melawan
singkirkan...!!!


disuatu saat setelah malam
on Rabu, 27 Januari 2010
Menelisik, mencoba mencari-cari celah untuk sekedar bereksistensi. Begitulah mengkin perilaku umum kita sekarang. Dan memang terdapat banyak sarana untuk menjadi ada, hingga menjadi tidak sekedar ada tentunya. Terkadang ada norma yang menyelingkupi. Dan apa yang terjadi tentunya menjadi telah menjadi suatu keniscayaan yang dimiiliki oleh manusia.

Seseorang, tidak bisa dipungkiri kadang menentang norma. Menentang apa yang diyakini oleh umum sebagai sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Hingga kemudian menjadi berfikir, adakah yang benar-benar salah dimuka bumi ini, dunia yang semakin lama, menurut sebagian orang menjadi semakin pragmatis dan permisif.

Seseorang, sang penentang norma itu tentu saja memiliki alasan untuk melakukannya. Saya percaya alasan selalu dimiliki manusia untuk melakukan sesuatu, meski terkadang manusia bertindak, yang katanya, tanpa alasan; tapi terlepas dari apapun itu, alasan biasanya mengandung tingkat rasionalitas tertentu. Dan sudah selayaknya, tindakan yang ada karena alasan, bisa dipertanggung jawabkan secara rasional. Apalagi tindakan-tindakan itu ada dan dilakukan dalam rangka proses menjadi yang merupakan suatu keniscayaan bagi manusia seperti yang disebutkan diatas.

Selanjutnya adalah mengenai nilai lebih. Ibarat suatu negara yang harus mempunyai nilai lebih sebagai prasyarat pertukaran dan perdagangan, dalam lingkup yang lebih kecil adalah karena manusia adalah subyek dari segala sesuatu. Nilai lebih harus diwujudkan secara rasional, meskipun tidak bisa dipungkiri selalu saja permintaan-penawaran yang mempengaruhi bagaimana nilai lebih itu bekerja tukar-menukar satu sama lain. Dan kalau sudah begini, bukan saatnya kita menyerah untuk menjadi pragmatis, tetapi harus berupaya sedemikian rupa sehingga mekanisme pertukaran itu menjadi lebih manusiawi. Karena bukankah manusia adalah makhluk rasional dan menjadi subjek bagi dunianya??

Selanjutnya, mari kita biarkan diri kita bebas, menikmati kebebasan sebagai prasyarat kemajuan, hingga suatu saat gelisah tersadar bahwa kita belum benar-benar bebas dan pada akhirnya mari kita nikmati kegelisahan ini sebagai suatu anugerah dan kebahagiaan.
on Sabtu, 23 Januari 2010
Jasa dibidang pelayanan kesehatan medik menurut Peraturan Pemerintah Nomor 144 tahun 2000 termasuk jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (Pasal 6).

Kewajiban perpajakan pada dokter (PPh) terutama mengacu pada Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 36 tahun 2009 ; “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini…”. Selanjutnya pada penjelasan pasal 4 tersebut disebutkan “Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: i. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya...

Dokter biasanya memperoleh penghasilan dari prakteknya dirumah sakit dan penghasilan dari tempat praktek pribadinya. Kedua sumber penghasilan tersebut digabung dan dilaporkan menggunakan form 1770. Untuk penghasilan dari rumah sakit dilaporkan pada form 1770 lampiran II, dan untuk penghasilan yang berasal dari tempat praktek pribadinya dilaporkan pada form 1770 lampiran I. Selain itu dalam pelaporan ini juga harus dimintakan bukti potong PPh 21 pada rumah sakit tempat dokter bekerja.

Mengenai penghasilan yang berasal dari tempat praktek pribadi dokter bisa menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (asumsi dokter menggunakan pencatatan). Untuk menghitung penghasilan netto menggunakan rumus penghasilan Bruto setahun X % norma. Adapun persentase norma adalah sebagai berikut :
45% : 10 ibukota propinsi (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak)
42.5% : Kota propinsi Lainnya
40% : Kota lainnya.

Norma penghitungan penghasilan neto boleh digunakan apabila penghasilan bruto kurang dari Rp 4.800.000.000,00. WP yang memilih untuk menggunakan norma penghitungan penghasilan neto wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 UU No 36 Tahun 2008). Adapun menurut PER - 4/PJ/2009 Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Selanjutnya adalah mengenai PPh Pasal 25, hal ini mengacu pada sistem perpajakan kita yang menganut prinsip "convenice to pay" yang berari bahwa wajib pajak diharapkan membayar pada saat yang menguntungkan dirinya. Salah satu contohnya adalah membayar angsuran pajak setiap bulan. Dengan adanya pembayaran angsuran pajak maka wajib pajak lebih ringan bebannya dalam membayar beban pajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya bagi pemerintah akan ada pemasukan untuk membiayai operasional pemerintahan. Angsuran pembayaran pajak ini nantinya akan diperhitungkan dengan PPh terutang pada akhir tahun didalam SPT Tahunan. PPh Pasal 25 dihitung menurut SPT Tahunan tahun pajak yang sebelumnya, lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
on Jumat, 22 Januari 2010
Kemarin sore mendengar kabar ada kawan yang mau menikah. Malamnya pun berpikir tentang nikah. Dan entah mengapa memang ada hubungan nikah dengan harmonisasi sosial, setidaknya menurut saya…

Nikah, dan tujuannya, dianggap sebagai sarana “melestarikan” keturunan. Artinya dengan menikah akan dilahirkan keturunan yang akhirnya, pada umumnya, diharapkan berguna bagi keluarga, nusa, bangsa, dan agama (dengan tidak mengecilkan urutan terakhir, karena semua dianggap sama pentingnya). Begitulah kira-kira harapan umum masyarakat kita pada anak-anaknya. Dan berketurunan adalah mengenai regenerasi. Regenerasi menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karangan Indrawan WS adalah “pembaruan semangat dan tata susila; penggantian alat yang rusak atau yang hilang dengan pembentukan jaringan sel baru; penggantian generasi tua kepada generasi muda”. Dari itu bisa kita sarikan kalau regenerasi identik dengan penggantian. Dan saya kira sepakat, bahwa dari definisi regenerasi diatas sangat berkaitan erat dengan yang namanya tujuan pernikahan, yaitu untuk berketurunan.

Selanjutnya beregenerasi adalah mengenai berproduksi, dalam artinya penggantian (regenerasi) harus diiringi dengan manfaaat/hasil menghasilkan (produksi). Penggantian tanpa manfaat adalah ahistoris. Dan penggantian (baca; regenerasi), karena kita hidup dalam suatu komunitas, baik yang homogen sekalipun, akan mengalami perluasan makna; tidak melulu soal regenerasi biologis tetapi sudah sampai pada tataran peran sosial bagi setiap individu.

Contoh sederhana, seorang yang menikah akan sedikit banyak akan mengalami pergeseran peran sosialnya. Lebih konkretnya, biasanya yang telah menikah akan memiliki waktu yang lebih banyak banyak untuk pasangan atau keluarganya daripada waktu-waktu yang ia habiskan bersama kawan-kawan untuk kongkow-kongkow saat masih masih lajang. Dan peran berkongkow-kongkow itulah yang digantikan oleh manusia lain, yang barangkali saat ia masih eksis dalam peran sosial sebelumnya (baca;kongkow-kongkow), manusia itu masih belum tahu dan menyadari makna “perbondongan” yang “seharusnya” saat ini ia emban. Dan inilah regenerasi, suatu proses “seleksi alam” yang barangkali kita tidak bisa menolaknya.

Dan yang menjadi masalah selanjutnya adalah adanya pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi diatas atas dasar kepentingannya sehingga terjadi distorsi “penggantian-menghasilkan” diatas. Proyek regenerasi jangan sampai menjadi hanya sekedar objek komoditas, dengan kata lain hanya menjadi konsumen dari jaman yang semakin sulit kita prediksi ini. Dalam proses ini dunia seakan telah menjelma menjadi rimba yang teramat luas dan ganas. Dan tak ada bekal yang lebih ampuh selain kematangan berpikir.

Selanjutnya, menurut hemat saya penggantian-menghasilkan adalah harga mati. Setiap regenerasi harus menjadikan sesuatu yang lebih baik kedepannya. Mungkin masalah sistem yang telah mengakar sehingga menjadi suatu kebiasaan. Mungkin juga ini mengenai pertentangan-pertentangan antara “tangan-tangan yang tak tampak” yang tak kita sadari telah menguasai kehidupan kita. Bagaimanapun juga manusia adalah subjek bagi dunianya, meski terkadang ia menjadi objek bagi dunia manusia lain, tetapi hendaknya hasrat berpasangan yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk pernikahan hendaknya menjadikan manusia lebih tersadar makna dirinya –berbagi dan menjadi-. Berbagi karena pada kodratnya manusia diciptakan berpasangan dan menjadi karena manusia adalah makhluk yang senantiasa berproses.

Dan akhirnya mungkin bukan suatu kebetulan, kita apabila ditanya tentang keluarga idaman adalah keluarga yang harmonis; harmonis diantara anggota keluarga, harmonis antara keluarga dengan komunitas dan masyarakat yang menciptakan sebuah harmonisasi sosial, dan pada akhirnya harmonis antara manusia dengan alam.
on Kamis, 21 Januari 2010
Saat itu, saat-saat pertama mengukir sejarahku di kotaku, Lubuk Pakam, ditanya ku oleh seorang bapak dikantorku,
“Di, kalau perusahaan sawit bisa dikukuhkan jadi PKP??’
“Bukannya kelapa sawit dibebaskan dari PPN pak? Jadi ya... bukan PKP pak..” mantab kujawab, hasil diklatku dua bulan dengan beberapa harinya PPN, ha.ha.haa..
“iya Di, sepertinya gitu..mungkin ada pengolahannya ini Di..” tambah bapak itu.
“iya Pak, kayaknya gitu..Ada pengolahannya..”
Dan pembicaraan singkat itupun segera berhenti. Tak tahu apa yang selanjutnya dilakukan bapak itu…

Selang beberapa lama, dari iseng-iseng berkunjung ke detik, kudapati sesuatu…kurang lebih:

Menurut Peraturan Pemerintah No 31 tahun 2007, barang hasil pertanian termasuk Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis (Pasal 1 ayat 1). Pada Pasal 1 ayat (2) dijelaskan mengenai pengertian barang hasil pertanian, yaitu barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha dibidang (a) pertanian, perkebunan, dan kehutanan (b) peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran, atau (b) perikanan, baik dari penangkapan maupun budidaya. Dan kita pasti sepakat perkebunan sawit termasuk kegiatan usaha dibidang perkebunan. Selanjutnya dalam pasal 2 dijelaskan mengenai penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (salah satunya barang hasil pertanian) dibebaskan dari pengenaan PPN.

Dari sini masih benar laah apa yang ku bilang pada bapak itu…
Tetapi… ternyata ada PMK Nomor 31/PMK.03/2008, dimana pada pasal 6 ayat (1) nya berbunyi :
"Orang atau badan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini wajib melaporkan usahanya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku"

dan ternyata saya salah dan masih cupu….hahahaa….
on Rabu, 20 Januari 2010
Sudah lama sekali, barangkali…Tak kutulis meski hanya sepotong..Meskipun tak benar-benar menulis mungkin, tetapi ada kalanya merindukan masa-masa itu, meskipun –sekali lagi- mungkin tak benar-benar ada masa itu. Seperti halnya keadaan dunia ada bukan karena sekedar ide, tetapi adalah aksi yang terpenting, maka masa-masa itu mungkin tidak benar-benar ada.

Tidak ada kata terlambat, begitulah yang banyak diyakini manusia-manusia kita, meskipun pada saatnya –mungkin- kita merelakan diri kita untuk terlambat. Tetapi masa begitu berharganya, masa begitu menyenangkan, mungkin (mungkin terlalu banyak “mungkin” didunia ini), dan adakalanya masa memang menuntut kita untuk terus belajar dan belajar.

Beberapa saat yang lalu, saat kalender kita hampir berganti, seringkali terdengar resolusi..resolusi..”Apa resolusi mu ditahun 2010??”..begitulah mungkin yang ingin diucapkan masa dan massa kepada kita. Dan ketidaksadaran massal itu pula, mungkin, yang membuat pikiran-pikiran ini –mau tidak mau- digiring kearah sana (ha..ha..ha…). Tak apalah, setidaknya ada kerjaan baru bagi pikiran ini. Dan itupun ada, meskipun hanya sekedar ada, dan jangankan realisasi, pembuktian bahwa itu benar-benar ada pun aku sendiri menyangsikannya (???) Tak apalah –sekali lagi, tak apalah…pembenaran, mungkin- meskipun masih hitam pekat, setidanya ia telah berwarna.

Dan dipertengahan penanggalan baru ini, sekali lagi, karena tidak ada kata terlambat, akan kualirkan air-air itu sampai sejuk ia dicicipi; sampai ia menguap, menjadi awan, hujan dan akhirnya membasahi padi-padi kering petani; sampai ia tersimpan di panasnya malam, bersembunyi dan menjadi embun-embun yang meyejukkan pagi-pagi kita.