on Senin, 31 Januari 2011
Mengingat kembali bentuk dan komposisi garis-garis itu, sepertinya bentuk (baca:simbol) memang punya makna. Unik dan tentu saja simbolis. Terkadang mempersatukan, karena dengannya sekelompok orang jadi merasa punya identitas yang divisualkan. Sebuah visualisasi yang memiliki makna tersirat; entah mulia, entah bermanfaat, despot, atau bahkan sampah. Mereka yang berbangga memakai simbol dan merekalah yang merelakan, setidaknya secara parsial, kediriannya. Ego-ego yang mulai dikompromikan, karena ini terkadang sebuah keniscayaan. Tidak menarik memang, ketika simbolisasi berujung pada seruan-seruan primordial, feodal, bahkan gender. Tapi apa daya, karena manusia terlahir dengan fakta-fakta, terlahir dengan atribut, pada akhirnya ketika harus “dipaksa” menyerah, tak berdaya karena tidak memiliki kesadaran.

Entah mengapa simbol bisa melahirkan rasa sentimental yang luar biasa, sebuah loyalitas tanpa syarat. Adalah pemaknaan yang memainkan peran besar. Elaborasi atas konsep, mungkin juga visi, dengan sentuhan filosofi sebagai awal, makna bisa menjadi dogma praktis yang siap dimainkan oleh pengikutnya. Dengan bantuan “ulama” makna, syiar simbol tak jarang merasuk sampai ke alam bawah sadar pengikutnya. Tanpa kesadaran kritis, manusia bisa menjadi debu, yang terbang entah kesana kemari kearah pemaknaan dogma. Tapi tak jarang simbol dianut setelah melalui proses pertentangan yang panjang. Entah pertentangan dalam dirinya, maupun dalam sosial kultural nya. Menurut hemat saya, idealnya seperti ini lah simbol itu dianut. Proses analitis kritis atas fenomena simbolisasi menjadi penting, sebagai awal dari konsekuensi logis ide intelektual organik. Lebih lanjut simbol-ide takkan mampu menggerakkan perubahan jikalau tak mampu mengakomodir realitas sosial. Kesadaran massal diperlukan, dan ini bisa digerakkan oleh simbol. Semacam onani budi, kurang berarti simbol jika hanya memuaskan seorang diri pribadi.

Simbol tentu saja bukan tujuan, melainkan hanya sarana. Terlepas entah apa tujuan itu, simbol cukup efektif mempersatukan, sedangkan manusia tentu saja membutuhkan identitas sebagai salah satu cara bereksistensi yang paling manjur dan murah meriah. Mungkin sudah menjadi fitrah psikologis juga bahwa manusia memerlukan identitas. Bagai barang dagangan, simbol-identitas siap dipilih dan dibeli dipasar ide manusia. Manusia tentu saja bebas memilih yang paling sesuai dengan dirinya. Tetapi seperti yang terjadi pada mekanisme pasar sempurna, distorsi selalu saja muncul. Entah disengaja, sistematis atau tidak, distorsi semacam ini sangat mengganggu. Disinilah, seperti halnya sistem perekonomian pasar, will to power sekali lagi mendapat pembenaran, bahkan dalam ide-simbol yang welas asih sekalipun, tanpa moralitas, manusia hanya menjadi santapan bagi manusia lainnya.

Bisa jadi simbol adalah salah satu mekanisme pertahanan hidup manusia. Sebuah permulaan dari tahap evolusi budaya manusia. Pada tahap selanjutnya simbol bisa mengalami pengaruh estetika, sebuah rekreasi budi, yang bisa meruntuhkan kejenuhan eksistensial manusia. Tapi bukan tak mungkin simbol menciptakan kejumudan, yang menjauhkan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk yang berfikir, sebagai makhluk yang bebas. Seperti sebuah bak yang disi air untuk mandi, sayangnya bak tak pernah menolak untuk diisi air keruh, atau bahkan meminta untuk disi air jernih, meskipun pada hakikatnya air jernihlah yang diperlukan..ironis!

Pada akhirnya pemilik simbollah yang tertawa, karena simbolisasi telah berhasil dilakukan. “Dakwah” telah berhasil mendapat pengikut yang signifikan. Entah mencerahkan atau membelenggu, yang jelas barang dagangan harus laku. Kalau tidak, kegiatan produksi bisa terancam. Dan dapat dibayangkan betapa tidak menariknya dunia tanpa simbol-simbol. Seperti kain tanpa corak dan pola, tentu tak sedap dipandang mata, meskipun aku tetap tak suka simbol bintang daud dengan dua garis atas bawah jadi salah satunya… :)

“Pengetahuan adalah harta yang patut dimuliakan, perilaku baik adalah busana baru, dan pikiran adalah cermin yang jernih” (Imam Ali bin Abi Thalib kw)