on Selasa, 03 Agustus 2010
Mungkin sekedar basa-basi selayaknya aktivitas yang seringkali ditemani seduhan biji-biji kopi, atau bisa saja sebuah obrolan ringan dimana ada hal besar kadangkala bermula. Dan riwayat biji-biji kopi, tak terukur rasa terimakasih kita untuknya, yang rela menghancurkan tubuhnya (atau dengan terpaksa menghancurkan, agar ada yang namanya pertukaran) untuk sekedar menemani malam kita, menemani senda gurau bersama kawan dan karib terkasih, tapi apakah ia bermula dengan indah pada awalnya jarang dari yang mungkin mengetahui.

Dari Sidikalang, Brazil, Dataran Afrika, dan sedikit Jawa tentu saja. Tentang suatu kearifan lokal bagaimana biji itu bermula. Kadang tanpa sentuhan modernisasi, meski jelas tak bisa melepaskan diri dari kungkungan kapital. Dari dari kapital semua ini bermula. Dari sebuah hasrat, dari kelangkaan, pada akhirnya terjadi apa yang kita namakan dengan pertukaran. Tapi apakah ini sebuah pertukaran yang adil satu sama lain, ataukah penghisapan yang pada akhirnya melahirkan keterasingan-keterasingan, yang barangkali akan membawa kepada sebuah analisis kritis mengenai keteraturan sebuah pasar. Ya, barangkali kata kuncinya adalah pasar. Pasar yang bebas, pasar yang dibebaskan, atau justru pasar yang mungkin bebas??

Sejenak bisa kita lihat fakta berikut, bahwa petani-petani tak mampu membeli kopi yang ia tanam sendiri di kafe-kafe kopi bagi saya adalah sebuah ironi. Barangkali bukan wilayah petani untuk menikmati kopinya dikafe, karena petani tentu saja tidak membutuhkan obrolan tentang harga saham yang bisa saja digoreng oleh spekulan mata duitan. Ceteris paribus tentu saja masih berlaku karena kompleksnya veriabel. Tapi dimanapun sebuah perumpamaan hanya butuh satu pembuktian, bukan sikap kritis, dan nyatanya cukup sah ironi ini. Bagaimana bisa negara saudagar bisa lebih makmur dari negara penghasil. Bagaimana bisa spekulan komoditas yang tiap hari hanya duduk bisa lebih menikmati margin daripada petani. Seakan-akan dari cucuran keringat petanilah sang saudagar bisa terus meneruskan hegemoninya dan hasrat foya-foya si spekulan dibiayai. Sedangkan petani masih sibuk memikirkan bagaimana caranya menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi yang bisa seharusnya saja lebih murah, siapa lagi penyebabnya kalau bukan birokrasi. Entah koruplah, entah gobloknya, entah aroganlah, entah...Dan tentang kafe-kafe, bahkan secangkir kopinya bisa untuk membeli belasan bahkan puluhan bungkus bubuk kopi kemasan.

Nyatanya tidak bisa menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Selalu saja ada kelangkaan. Kafe-kafe tentu saja mengandung lebih banyak kelangkaan dari pada warung kopi pinggir jalan karena keeksklusifannya. Dan nyatanya petani sekali lagi kurang bisa menikmati margin kelangkaan yang diperjualbelikan. Mungkin masih bisa diperdebatkan, karena harga secangkir kopi masih terdapat biaya pencitraan, gaji barista, dan masih banyak lagi, tak lupa tentu saja biaya kelangkaan, bahkan mungkin biaya eksternalitas yang ditanggung para konsumen. Dan kalaupun itu benar, dan harga yang ditawarkan memang wajar, masih saja ada ironi, karena nilai-nilai kopi yang telah cukup berhasil dikomoditaskan. Pertarungan ide menjadi penting dan kreativitas hanya bisa dimunculkan oleh masyarakat yang terpelajar.

Selanjutnya mengenai regulasi, bagaimana menghasilkan komposisi harga yang lebih adil dan perlindungan bagi hak-hak kaum marjinal. Tapi regulasi dan pelaksanaan yang ada kadangkala melahirkan mentalitas foedal-borjuis yang seringkali justru kontraproduktif dengan maksud semula. Birokrasi sangat identik dengan inefisiensi, tapi tentu saja tidak bisa menyerahkan apa yang seharusnya menjadi wewenang negara kepada mekanisme pasar. Disinilah demokrasi diperlukan. Demokrasi yang sehat, dan tentu saja demokrasi yang berkeadilan sosial. Keterbukaan informasi juga tak kalah penting. Tapi justru kadangkala sumber-sumber informasi inilah terjadi penggiringan opini publik dengan segala maksud dan tujuannya. Untuk itulah diperlukan pembangunan intelektualitas personal yang kredibel dan berkualitas, meski tidak menjamin akan menghilangkan masalah-masalah yang ada, terutama masalah inefisiensi. Bukan dunia namanya kalau tanpa masalah. Hingga pada akhirnya, semua orang akan tersadar, hanya orang-orang yang memiliki ide dan mewujudkannya yang akan mengusai dunia.
on Rabu, 30 Juni 2010
Dua jam menuju bulan baru, Juli bulan ketujuh. Setengah tahun terlewati. Masa sebagai salah satu komposisi dari materi, kadang berlalu tanpa kita sadari, seolah menunggu hingga tersadar ada sesuatu yang terlewatkan. Satu, dua, tiga,dan seterusnya tahun telah berlalu. Masa itu tak akan kembali. Jelas saja, karena memang demikian seharusnya. Yang terjadi mungkin kita sadari, tapi tak selalu kita mengerti. Betapa banyak yang harus kita lalui. Aku memiliki kekuasaan, demikian pula kau memiliki kekuasaan, setidaknya atas diri kita sendiri. Tapi apakah kita benar-benar berkuasa atas diri kita? Tak ada yang benar-benar bisa memastikan. Keadaan akan menjadi sesuatu yang janggal, bila hanya memikirkan bagaimana. Mungkin kita perlu bantuan mengapa (untuk dunia ini menemukan kata “mengapa”). Dan manusia memang selalu saja bisa untuk bertanya. Maka mengapa mereka harus bertanya? Bagaimana dengan mempertanyakan pertanyaan?? Ahh…bisa saja usang pikirku. Lebih baik kunikmati saja apa yang ada sekarang (mungkin begitu kata mereka). Tapi salahkan untuk bertanya? Mungkin jadi resah aku dibuatnya. Ada banyak hal yang menjadi misteri, terbengkalai di telan keangkuhan jaman. Kau? Mengapa masih saja kau rindukan, bila memang tiada lagi harapan. Hanya pertanyaan mungkin yang mampu jadi pelipurnya. Tapi bukankah kita bisa berpersepsi sekehendak hati?? Ingatlah jaman tak bisa benar-benar dibohongi. Ada banyak cara berkilah, percayalah…hahahaa…

Dasar kau manusia, kalian memang makhluk sempurna. Perih, lara pun kau bisa buat jadi senyum dan tertawa gembira. Tapi apakah kegembiraan itu sebenarnya? Bermula dari apakah ia? Cinta kah?? Hfffuh….Menyadari dan kemudian kau tersenyum. Berharap saja kita akan tersenyum selamanya, seakan masa pun takluk, abadi begitu kata orang. Tak ada yang bisa disalahkan, karena ada lakon yang harus kita mainkan (????). dan yang pasti sejuta tanda tanya akan lebih berarti dari satu seru vonis dan penghakiman, angkuh!!
on Sabtu, 01 Mei 2010
Secara historis lahirnya ekonomo kerakyatan didasari semangat anti penghisapan, karena itulah lahirnya ekonomi kerakyatan tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa kita untuk menuju kemerdekaan dan membebaskan diri dari kolonialisme. Menurut Bung Karno ekonomi Indonesia yang berwatak Kolonial setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut; pertama, sebagai pemasok bahan mentah; kedua, pasar barang-barang jadi yang dibuat oleh negara-negara industri maju; ketiga, tempat memutar kelebihan kapital dari negara-negara maju. Sedangkan Moh. Hatta lebih menekankan pada kondisi sosial-kultural masyarakat Indonesia pada jaman kolonial, yaitu masyarakat makmur bangsa Eropa di Indonesia, kelas pedagang masyarakat timur asing dan kaum miskin pribumi. Dan karenanya, perekonomian Indonesia merdeka harus merupakan koreksi atas ketiga hal tersebut

Selanjutnya perumusan ekonomi kerakyatan tercantum pada pasal 33 UUD 1945. Pada paragraf pertama bagian penjelasan sebelum amandemen berbunyi sebagai berikut, “ Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”. Atas dasar itulah secara substansial ekonomi kerakyatan mengandung tiga unsur; pertama, partisipasi anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Kedua, hasil-hasil dari produksi nasional dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil-hasilnya harus berlangsung dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya masyarakat harus menjadi objek dalam perekonomian kita. Bisa kita mengundang modal asing, namun penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. Sebagai subyek, maka masyarakat harus turut memiliki alat-alat produksi, turut mengambil keputusan ekonomi, dan turut pula menanggung segala resiko dari pengambilan keputusan tersebut. Selanjutnya dari ketiga unsur tersebut, bermuara pada kebutuhan desentralisasi, tidak hanya sampai pada pemerintah daerah, tetapi menurut Hatta harus sampai pada desa-desa. Dan bentuk penyelenggaraan usaha yang paling sesuai adalah koperasi.


Mengenai pasal 33 ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, Bung Hatta menyebutkan antara lain industri dasar dan pertambangan; sedangkan untuk yang mengusai hajat hidup orang banyak, Bung Hatta antara lain menyebutkan air, listrik, gas, gula, semen, kopra, dan minyak nabati. Lebih lanjut mengenai pemanfaatan manajer asing, bahwa hal ini dilakukan dengan syarat, ia harus mendidik orang Indonesia agar kelak bisa digantikan oleh orang Indonesia. Selanjutnya, jika dilengkapi dengan pasal 27 ayat 2 dan 34, peranan negara dalam ekonomi kerakyatan setidaknya ada lima hal sbb; (1). Mengembangkan koperasi sebagai sokoguru perekonomian, (2) mengembangkan BUMN pada cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, (3) menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamya bagi sebesar2nya kemakmuran rakyat, (4) melindungi dan memajukan pemenuhan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, (5) mengembangkan panti-panti sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar.


Efisiensi dalam ekonomi kerakyatan tidak hanya meliputi aspek keuangan, tetapi juga memperhatikan nilai sosial, moral, dan keadilan lingkungan. Pasar dalam sistem ekonomi kerakyatan bekerja diatas kerangka kelembagaan yang memuliakan kepemilikan alat-alat produksi secara kolektif. Mengenai pembiayaan nasional, bung Hatta menempatkan tiga prioritas, pertama, modal nasional; kedua, utang luar negeri; ketiga, penanaman modal asing. Mengenai utang luar negeri, bung Hatta lebih lanjut menyebutkan syarat-syaratnya, yaitu : (1) tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, (2) suku bunga 3-3,5 per tahun, (3) jangka waktu panjang, 10-30 tahun untuk keperluan industri, untuk pembangunan infrastruktur harus lebih lama dari itu. Adapun untuk penanaman modal asing, dilakukan sementara waktu saja, sebagaimana ditulisnya,”dalam pembangunan negara dan masyarakat, bagian pekerja dan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga dan kapital asing sesudah sampai pada suatu tingkat, makin lama makin berkurang.”
…….
(rangkuman singkat manifesto ekonomi kerakyatan, Revrisond Baswir)
on Senin, 29 Maret 2010
Suatu saat harus ada yang menghilang
Mungkin begitu kata mereka
Beralasan, mencari bentuk-bentuk makna, sampai batas arah merayumu
Mengutip pendapat, tanpa berharap
Mangkir tanpa keresahan
Pun memuja tanpa persembahan

Kuhilangkan saja, mungkin begitu pikirmu
Tak peduli berapa banyak norma dogma yang menjadi penghiburmu
Hanya seonggok rupa dan tak mungkin akan bicara
Terasing, ditemani pendengar bijak dari tanah seberang

Murung dalam kesia-siaan
Mungkin begitu kata mereka
Biarkan saja hasrat ini melayang
Ditemani kawan-kawan khayalan yang semoga mau jadi kawan-kawan baikmu
Sampai renunganmu hancur dicabik anak sejarah

Lemparkan saja renunganmu, tanpa tolakanmu yang kuat
Biar tak jauh ia menjauh dari sisimu
Suatu saat memang butuh kejelasan
Jelas untuk berkata, meski hanya kata
Jelas untuk bersyair, meski tak jelas syair apa yang kaudendangkan
Tak tinggal diam, biarlah logika mencari pembenaran
on Senin, 08 Maret 2010
Sebuah dan tentang titik. Ya, kalimat pertama tulisan ini pada akhirnya diakhiri dengan titik dan seterusnya hingga sampailah ia pada kalimat terakhir. Sebuah titik kadang merangkai sebuah pengertian. Kadang pula merangkai sebuah kesadaran, bahwa ia harus berhenti; pada sesuatu, untuk sesuatu, atau bahkan hanya untuk sesuatu saat. Ia bukan sekedar hasil dari sentuhan tinta dengan kertasnya, tapi karena ia ada, dan sudah seharusnya ada, kita bisa mengambil nafas untuk melanjutkan mengeja, membaca dan meresapi hingga seterusnya dan berjumpa lagi dengan titik. Kadang kali ia dibuat begitu banyak dan berjajar. Mungkin isyarat untuk sejenak jeda lebih lama, bahwa ada seterusnya yang, tidak bisa di tuliskan mungkin, hingga perlu berjajar dan beramai-ramai untuk benar-benar mengetahui ada makna apa dibalik hidupnya kata-kata sebelumnya.

Titik, dan dari sanalah konon semuanya bermula. Ia berpegangan rapat-rapat, hingga bisa dibentuk huruf, kata dan kata-kata. Kata dan kata-kata berhimpun dan jadilah sebuah kalimat. Dari sana muncul makna-makna, kadang sederhana, tapi kadang mendalam hingga berasa begitu nikmat meresapinya. Dan pada akhirnya kalimatpun harus juga diakhiri dengan titik.

Titik bukan koma, yang merupakan isyarat untuk berhenti sejenak, dan titik tidak bisa menjadi koma. Begitu pula sebaliknya, koma tidak bisa menjadi titik karena itu bisa mengacaukan. Mengacaukan intonasi, mengacaukan susunan, dan yang lebih parah mengacaukan makna.

Sebuah titik tidak selamanya identik dengan berhenti. Justru dari sanalah kadang sebuah perjalanan bermula; mengakhiri sebuah makna, untuk kemudian melanjutkan dengan makna yang lebih baru, lebih dalam semoga, dan jangan sampai ia hanya jadi penyimbolan untuk berakhirnya sesuatu untuk sekedar sesuatu. Kalau hanya ini yang ada, bisa-bisa prosa yang penuh dengan titik dan titik-titik ini menjadi hambar dan tiada bernilai.

Dalam sebuah prosa kehidupan yang dipenuhi dengan titik, dengan inilah prosa itu bisa terangkai dan pada akhirnya bisa dialurkan. Titik menyambung untuk kemudian menyatukan, dan bahwa saat sesuatu harus terhenti, seringkali kemudian ia tersambung lagi, yang karenanya ia ada, alur itu menjadi indah. Kadang tak terduga, tidak direncanakan, muncul tiba-tiba hingga menjadi indah pada waktunya. Disinilah, kata orang, titik (kalau tahu ada titik tentunya) merubah yang tak menyenangkan menjadi menyenangkan; mengubah yang tak indah menjadi indah; dan bisa menjadikan yang hitam jadi putih sekalipun.

Titik bukanlah bintang-bintang yang berserak dilangit, yang meskipun berwujud titik dengan mata kita melihat; bercahaya dan beraneka warna, ia hanya bisa dinikmai keindahannya. Tak bisa kita mengatur warna bintang, karena ia ada memang begitulah adanya. Tapi dengan titik, kita bisa mewarnanya sesuka hati kita, entah hijau, putih, merah, bahkan hitam, asal ada pena tentunya.

Titik tetap saja titik. Kecil, dan seringkali tidak dianggap ada saat terlalu asik menikmati alur. Diumpat saat ia dianggap mengakhiri sebuah akhir sedih. Dihina saat dianggap hanya mampu mengadili tapi tak mampu member solusi. Tapi kadang ia dipuja, karena mambuat sempurna sebuah akhir bahagia. Sederhana, dalam dan memberi makna, hingga pada akhirnya, seperti yang telah dijanjikan diawal, tulisan kecil ini pun harus diakhiri dengan titik.
on Selasa, 23 Februari 2010
Ingin kuliah susah. Atas nama kapasitas, fasilitas, dan publisitas ia biarkan otaknya berputar-putar. Bingung bagaimana caraya agar ia dapat berregenerasi dengan baik. Kadang tak harus keluar uang , rela pula ia keluar uang, sogok kanan sogok kiri yang penting hasratnya tercapai, tak peduli banyak orang yang ia rampas haknya.
Ingin kuliah susah, susah menikmati kuliah murah katanya, karena harus sumbangan sana sumbangan sini, biar agak licin, katanya, jalan masuknya.

Susahnya jadi orang kaya di negeri ini..
Bahkan hanya untuk keluar air mata pun harus keluar uang untuk beli karcis bioskop atau berkeping-keping cd. Rupanya kesedihan-kesedihan yang selalu ia lihat disekitar tak cukup membuat air matanya tumpah, bahkan hanya untuk setetes.

Susahnya jadi orang kaya dinegeri ini…
Terlalu banyak pilihan mungkin, hingga bingung ia, mencari-cari dengan siapa seharusnya dia akan hidup bersama, tak peduli penyusutan eksponensial yang ia dapat. Tak lagi kenal cinta mungkin, agar ia selalu dapat melanjutkan habit-habit hedonnya.

Susahnya jadi orang kaya di negeri..
Pengen jadi warga negara yang baik, yang taat hukum pun seakan tak bisa. Tak rela mungkin “orang-orang” itu melihat segepok uang disaku kantong nya..hmmm…katanya biar licin semua perkata..hehee

Susahnya jadi orang kaya di negeri ini..
Untuk makan pun susah. Berasa tak enak lidah ini katanya makan ditempat-tempat biasa. Berasa tak nyaman perut ini katanya makan ditempat sembarangan. Berasa tak nyaman mata ini katanya makan di tempat yang tak ada tuan dan nonanya..entah pelayannya mungkin ato pengunjungnya..yang penting rupawan dan puas pula mata ini dibuatnya..suit suiiit…
on Sabtu, 20 Februari 2010
Sudah menjadi keyakinan umum kalau persepsi banyak mempengaruhi cara pandang manusia dengan dunianya. Hampir-hampir semuanya berkaitan dengan persepsi dan cara pandang. Ambil contoh sederhana mengenai merokok. Ada sebagian yang beranggapan merokok akan banyak membantu para buruh dan banyak kaum bawah lain, mengingat begitu banyaknya pihak yang berhubungan dengan rokok, mulai dari petani tembakau, cengkih, sampai pedagang asongan yang “hidup” dari rokok; hingga ia benar merasa cukup “beralasan” untuk merokok. Dan sebagian yang lain, karena banyaknya racun yang bersemayam didalamnya, sungguh-sungguh menjauhi sesuatu yang dinamakan rokok itu. Dan pada akhirnya persepsilah yang menentukan tentang “kenikmatannya” untuk merokok atau tidak merokok sekalipun.

Persepsi menurut KBBI berarti tanggapan (penerimaan) langsung dr sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya. Dari sini sedikit banyak dapat diambil, karenanya berkaitan dengan proses tanggapan dan panca indera, maka “kebijaksanaan” seseorang sangat berpengaruh bagaimana persepsi itu diproduksi. Kebijaksanaan menurut hemat saya tak melulu soal akal, tetapi hatilah yang sebenarnya sangat berpengaruh terhadap persepsi. Hati yang bersih akan mampu melahirkan persepsi yang jenih dan hingga pada gilirannya akan dapat diterima akal.


Pada suatu saat yang sudah telampau lama, ada sebuah perbincangan menarik dengan seorang kawan, dan tiba-tiba dia berucap “menurutmu gelas ini setengah kosong atau setengah isi??” (mengutip dari sebuah judul buku mungkin), tak kujawab karena itu sama saja, dan saya pun sudah tahu arah pembicaaannya kemana. Kawan –kawan sekalian tentunya juga sudah mengetahui kemana arah pembicaraan ini. Ya, hal ini, kata kawan itu, berkaitan dengan cara pandang, proses tanggapan, dan persepsi. Kalau kita beranggapan setengah isi, bisa disimpulkanlah kalau memang kita memiliki cara pandang yang positif, dan kurang lebih seperti itulah yang diharapkan, kita selalu mampu bersyukur dan mengambil sisi positif dari setiap kehidupan yang terjadi dan sudah kita lalui, suka atau tidak suka hal-hal yang telah terjadi itu. Tidak ada yang perlu dipertentangkan, karena secara norma memang sudah demikian yang seharusnya. Tetapi apa yang terjadi dengan dunia kita saat ini? Masih relevankah?

Tidak bisa dipungkiri lagi kalau dunia kita memang sudah semakin permisif dan materialis. Dan saat inilah kemampuan bersyukur, tawakal, dan menggunakan menjadi sangat penting. Ia bisa menjadi semacam rem bagi sifat serakah manusia, dan ia bisa menjadi semacam pelipur lara bagi setiap kelemahan kita. Tetapi ia menjadi berbahaya bila “dikonsumsi dengan dosis yang berlebihan”. Karena bukan lagi menjadi bersyukur, malah sudah menjurus pada tindak kemalasan (Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang mengubahnya??). Pada tahap inilah, bagaimana persepsi bisa dimainkan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya bisa kita manipulasi, hingga akhirnya kita merasakan ada yang salah dengan persepsi karena ketidakkonkretannya. Seorang pekerja yang hanya mendapat sepuluh ribu perhari tetap tidak akan bisa makan tiga kali sehari, entah bagaimanapun ia memanipulasi persepsi. Dan persepsi mungkin bisa mengenyangkan tapi ia tidak benar-benar bisa mengenyangkan. Dan tak ada yang bisa dilakukan kemudian kecuali melawan. Melawan diri kita dari kungkungan pisau persepsi. Melawan penindas persepsi. Dan melawan para penghambat produksi persepsi.
on Jumat, 29 Januari 2010
Bahwa sambil lalu dia rasakan
Tak ingin tangan ini hanya mengepal
Bahwa seluruh tubuh dingin, menggigil
Dan sesaat dirasakannya hasrat..

Saat malam, saat hasrat-hasrat itu semakin menggila
Dan dia hanya berharap tak jadi persoalan dikehidupannya mendatang

Dia hanya ingin melawan…
Engkau, yang dengan gaya tiranmu seolah berkata kau tidak bisa dikalahkan
Dia ingin melawan dan benar-benar melawan…

Menggertak..satu dua kali dan dia hanya menggertak
Dan bahkan ia tak tahu apa ia punya kekuatan
Dia ingin melawan dan terus melawan…

Perjalanan, kehidupan; setali dalam rangkaiannya yang mencemaskan
Ketakutan, kebengisan datang silih berganti
Mengumbar bermacam visi
Seolah dan seolah…hanya ada satu siang yang benar-benar siang

Kalahkan hatimu
rebut simpatinya..agar kau tau cara melawan
singkirkan...!!!


disuatu saat setelah malam
on Rabu, 27 Januari 2010
Menelisik, mencoba mencari-cari celah untuk sekedar bereksistensi. Begitulah mengkin perilaku umum kita sekarang. Dan memang terdapat banyak sarana untuk menjadi ada, hingga menjadi tidak sekedar ada tentunya. Terkadang ada norma yang menyelingkupi. Dan apa yang terjadi tentunya menjadi telah menjadi suatu keniscayaan yang dimiiliki oleh manusia.

Seseorang, tidak bisa dipungkiri kadang menentang norma. Menentang apa yang diyakini oleh umum sebagai sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Hingga kemudian menjadi berfikir, adakah yang benar-benar salah dimuka bumi ini, dunia yang semakin lama, menurut sebagian orang menjadi semakin pragmatis dan permisif.

Seseorang, sang penentang norma itu tentu saja memiliki alasan untuk melakukannya. Saya percaya alasan selalu dimiliki manusia untuk melakukan sesuatu, meski terkadang manusia bertindak, yang katanya, tanpa alasan; tapi terlepas dari apapun itu, alasan biasanya mengandung tingkat rasionalitas tertentu. Dan sudah selayaknya, tindakan yang ada karena alasan, bisa dipertanggung jawabkan secara rasional. Apalagi tindakan-tindakan itu ada dan dilakukan dalam rangka proses menjadi yang merupakan suatu keniscayaan bagi manusia seperti yang disebutkan diatas.

Selanjutnya adalah mengenai nilai lebih. Ibarat suatu negara yang harus mempunyai nilai lebih sebagai prasyarat pertukaran dan perdagangan, dalam lingkup yang lebih kecil adalah karena manusia adalah subyek dari segala sesuatu. Nilai lebih harus diwujudkan secara rasional, meskipun tidak bisa dipungkiri selalu saja permintaan-penawaran yang mempengaruhi bagaimana nilai lebih itu bekerja tukar-menukar satu sama lain. Dan kalau sudah begini, bukan saatnya kita menyerah untuk menjadi pragmatis, tetapi harus berupaya sedemikian rupa sehingga mekanisme pertukaran itu menjadi lebih manusiawi. Karena bukankah manusia adalah makhluk rasional dan menjadi subjek bagi dunianya??

Selanjutnya, mari kita biarkan diri kita bebas, menikmati kebebasan sebagai prasyarat kemajuan, hingga suatu saat gelisah tersadar bahwa kita belum benar-benar bebas dan pada akhirnya mari kita nikmati kegelisahan ini sebagai suatu anugerah dan kebahagiaan.
on Sabtu, 23 Januari 2010
Jasa dibidang pelayanan kesehatan medik menurut Peraturan Pemerintah Nomor 144 tahun 2000 termasuk jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (Pasal 6).

Kewajiban perpajakan pada dokter (PPh) terutama mengacu pada Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 36 tahun 2009 ; “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini…”. Selanjutnya pada penjelasan pasal 4 tersebut disebutkan “Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: i. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya...

Dokter biasanya memperoleh penghasilan dari prakteknya dirumah sakit dan penghasilan dari tempat praktek pribadinya. Kedua sumber penghasilan tersebut digabung dan dilaporkan menggunakan form 1770. Untuk penghasilan dari rumah sakit dilaporkan pada form 1770 lampiran II, dan untuk penghasilan yang berasal dari tempat praktek pribadinya dilaporkan pada form 1770 lampiran I. Selain itu dalam pelaporan ini juga harus dimintakan bukti potong PPh 21 pada rumah sakit tempat dokter bekerja.

Mengenai penghasilan yang berasal dari tempat praktek pribadi dokter bisa menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (asumsi dokter menggunakan pencatatan). Untuk menghitung penghasilan netto menggunakan rumus penghasilan Bruto setahun X % norma. Adapun persentase norma adalah sebagai berikut :
45% : 10 ibukota propinsi (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak)
42.5% : Kota propinsi Lainnya
40% : Kota lainnya.

Norma penghitungan penghasilan neto boleh digunakan apabila penghasilan bruto kurang dari Rp 4.800.000.000,00. WP yang memilih untuk menggunakan norma penghitungan penghasilan neto wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 UU No 36 Tahun 2008). Adapun menurut PER - 4/PJ/2009 Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Selanjutnya adalah mengenai PPh Pasal 25, hal ini mengacu pada sistem perpajakan kita yang menganut prinsip "convenice to pay" yang berari bahwa wajib pajak diharapkan membayar pada saat yang menguntungkan dirinya. Salah satu contohnya adalah membayar angsuran pajak setiap bulan. Dengan adanya pembayaran angsuran pajak maka wajib pajak lebih ringan bebannya dalam membayar beban pajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya bagi pemerintah akan ada pemasukan untuk membiayai operasional pemerintahan. Angsuran pembayaran pajak ini nantinya akan diperhitungkan dengan PPh terutang pada akhir tahun didalam SPT Tahunan. PPh Pasal 25 dihitung menurut SPT Tahunan tahun pajak yang sebelumnya, lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
on Jumat, 22 Januari 2010
Kemarin sore mendengar kabar ada kawan yang mau menikah. Malamnya pun berpikir tentang nikah. Dan entah mengapa memang ada hubungan nikah dengan harmonisasi sosial, setidaknya menurut saya…

Nikah, dan tujuannya, dianggap sebagai sarana “melestarikan” keturunan. Artinya dengan menikah akan dilahirkan keturunan yang akhirnya, pada umumnya, diharapkan berguna bagi keluarga, nusa, bangsa, dan agama (dengan tidak mengecilkan urutan terakhir, karena semua dianggap sama pentingnya). Begitulah kira-kira harapan umum masyarakat kita pada anak-anaknya. Dan berketurunan adalah mengenai regenerasi. Regenerasi menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karangan Indrawan WS adalah “pembaruan semangat dan tata susila; penggantian alat yang rusak atau yang hilang dengan pembentukan jaringan sel baru; penggantian generasi tua kepada generasi muda”. Dari itu bisa kita sarikan kalau regenerasi identik dengan penggantian. Dan saya kira sepakat, bahwa dari definisi regenerasi diatas sangat berkaitan erat dengan yang namanya tujuan pernikahan, yaitu untuk berketurunan.

Selanjutnya beregenerasi adalah mengenai berproduksi, dalam artinya penggantian (regenerasi) harus diiringi dengan manfaaat/hasil menghasilkan (produksi). Penggantian tanpa manfaat adalah ahistoris. Dan penggantian (baca; regenerasi), karena kita hidup dalam suatu komunitas, baik yang homogen sekalipun, akan mengalami perluasan makna; tidak melulu soal regenerasi biologis tetapi sudah sampai pada tataran peran sosial bagi setiap individu.

Contoh sederhana, seorang yang menikah akan sedikit banyak akan mengalami pergeseran peran sosialnya. Lebih konkretnya, biasanya yang telah menikah akan memiliki waktu yang lebih banyak banyak untuk pasangan atau keluarganya daripada waktu-waktu yang ia habiskan bersama kawan-kawan untuk kongkow-kongkow saat masih masih lajang. Dan peran berkongkow-kongkow itulah yang digantikan oleh manusia lain, yang barangkali saat ia masih eksis dalam peran sosial sebelumnya (baca;kongkow-kongkow), manusia itu masih belum tahu dan menyadari makna “perbondongan” yang “seharusnya” saat ini ia emban. Dan inilah regenerasi, suatu proses “seleksi alam” yang barangkali kita tidak bisa menolaknya.

Dan yang menjadi masalah selanjutnya adalah adanya pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi diatas atas dasar kepentingannya sehingga terjadi distorsi “penggantian-menghasilkan” diatas. Proyek regenerasi jangan sampai menjadi hanya sekedar objek komoditas, dengan kata lain hanya menjadi konsumen dari jaman yang semakin sulit kita prediksi ini. Dalam proses ini dunia seakan telah menjelma menjadi rimba yang teramat luas dan ganas. Dan tak ada bekal yang lebih ampuh selain kematangan berpikir.

Selanjutnya, menurut hemat saya penggantian-menghasilkan adalah harga mati. Setiap regenerasi harus menjadikan sesuatu yang lebih baik kedepannya. Mungkin masalah sistem yang telah mengakar sehingga menjadi suatu kebiasaan. Mungkin juga ini mengenai pertentangan-pertentangan antara “tangan-tangan yang tak tampak” yang tak kita sadari telah menguasai kehidupan kita. Bagaimanapun juga manusia adalah subjek bagi dunianya, meski terkadang ia menjadi objek bagi dunia manusia lain, tetapi hendaknya hasrat berpasangan yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk pernikahan hendaknya menjadikan manusia lebih tersadar makna dirinya –berbagi dan menjadi-. Berbagi karena pada kodratnya manusia diciptakan berpasangan dan menjadi karena manusia adalah makhluk yang senantiasa berproses.

Dan akhirnya mungkin bukan suatu kebetulan, kita apabila ditanya tentang keluarga idaman adalah keluarga yang harmonis; harmonis diantara anggota keluarga, harmonis antara keluarga dengan komunitas dan masyarakat yang menciptakan sebuah harmonisasi sosial, dan pada akhirnya harmonis antara manusia dengan alam.
on Kamis, 21 Januari 2010
Saat itu, saat-saat pertama mengukir sejarahku di kotaku, Lubuk Pakam, ditanya ku oleh seorang bapak dikantorku,
“Di, kalau perusahaan sawit bisa dikukuhkan jadi PKP??’
“Bukannya kelapa sawit dibebaskan dari PPN pak? Jadi ya... bukan PKP pak..” mantab kujawab, hasil diklatku dua bulan dengan beberapa harinya PPN, ha.ha.haa..
“iya Di, sepertinya gitu..mungkin ada pengolahannya ini Di..” tambah bapak itu.
“iya Pak, kayaknya gitu..Ada pengolahannya..”
Dan pembicaraan singkat itupun segera berhenti. Tak tahu apa yang selanjutnya dilakukan bapak itu…

Selang beberapa lama, dari iseng-iseng berkunjung ke detik, kudapati sesuatu…kurang lebih:

Menurut Peraturan Pemerintah No 31 tahun 2007, barang hasil pertanian termasuk Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis (Pasal 1 ayat 1). Pada Pasal 1 ayat (2) dijelaskan mengenai pengertian barang hasil pertanian, yaitu barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha dibidang (a) pertanian, perkebunan, dan kehutanan (b) peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran, atau (b) perikanan, baik dari penangkapan maupun budidaya. Dan kita pasti sepakat perkebunan sawit termasuk kegiatan usaha dibidang perkebunan. Selanjutnya dalam pasal 2 dijelaskan mengenai penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (salah satunya barang hasil pertanian) dibebaskan dari pengenaan PPN.

Dari sini masih benar laah apa yang ku bilang pada bapak itu…
Tetapi… ternyata ada PMK Nomor 31/PMK.03/2008, dimana pada pasal 6 ayat (1) nya berbunyi :
"Orang atau badan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini wajib melaporkan usahanya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku"

dan ternyata saya salah dan masih cupu….hahahaa….
on Rabu, 20 Januari 2010
Sudah lama sekali, barangkali…Tak kutulis meski hanya sepotong..Meskipun tak benar-benar menulis mungkin, tetapi ada kalanya merindukan masa-masa itu, meskipun –sekali lagi- mungkin tak benar-benar ada masa itu. Seperti halnya keadaan dunia ada bukan karena sekedar ide, tetapi adalah aksi yang terpenting, maka masa-masa itu mungkin tidak benar-benar ada.

Tidak ada kata terlambat, begitulah yang banyak diyakini manusia-manusia kita, meskipun pada saatnya –mungkin- kita merelakan diri kita untuk terlambat. Tetapi masa begitu berharganya, masa begitu menyenangkan, mungkin (mungkin terlalu banyak “mungkin” didunia ini), dan adakalanya masa memang menuntut kita untuk terus belajar dan belajar.

Beberapa saat yang lalu, saat kalender kita hampir berganti, seringkali terdengar resolusi..resolusi..”Apa resolusi mu ditahun 2010??”..begitulah mungkin yang ingin diucapkan masa dan massa kepada kita. Dan ketidaksadaran massal itu pula, mungkin, yang membuat pikiran-pikiran ini –mau tidak mau- digiring kearah sana (ha..ha..ha…). Tak apalah, setidaknya ada kerjaan baru bagi pikiran ini. Dan itupun ada, meskipun hanya sekedar ada, dan jangankan realisasi, pembuktian bahwa itu benar-benar ada pun aku sendiri menyangsikannya (???) Tak apalah –sekali lagi, tak apalah…pembenaran, mungkin- meskipun masih hitam pekat, setidanya ia telah berwarna.

Dan dipertengahan penanggalan baru ini, sekali lagi, karena tidak ada kata terlambat, akan kualirkan air-air itu sampai sejuk ia dicicipi; sampai ia menguap, menjadi awan, hujan dan akhirnya membasahi padi-padi kering petani; sampai ia tersimpan di panasnya malam, bersembunyi dan menjadi embun-embun yang meyejukkan pagi-pagi kita.