on Selasa, 23 Februari 2010
Ingin kuliah susah. Atas nama kapasitas, fasilitas, dan publisitas ia biarkan otaknya berputar-putar. Bingung bagaimana caraya agar ia dapat berregenerasi dengan baik. Kadang tak harus keluar uang , rela pula ia keluar uang, sogok kanan sogok kiri yang penting hasratnya tercapai, tak peduli banyak orang yang ia rampas haknya.
Ingin kuliah susah, susah menikmati kuliah murah katanya, karena harus sumbangan sana sumbangan sini, biar agak licin, katanya, jalan masuknya.

Susahnya jadi orang kaya di negeri ini..
Bahkan hanya untuk keluar air mata pun harus keluar uang untuk beli karcis bioskop atau berkeping-keping cd. Rupanya kesedihan-kesedihan yang selalu ia lihat disekitar tak cukup membuat air matanya tumpah, bahkan hanya untuk setetes.

Susahnya jadi orang kaya dinegeri ini…
Terlalu banyak pilihan mungkin, hingga bingung ia, mencari-cari dengan siapa seharusnya dia akan hidup bersama, tak peduli penyusutan eksponensial yang ia dapat. Tak lagi kenal cinta mungkin, agar ia selalu dapat melanjutkan habit-habit hedonnya.

Susahnya jadi orang kaya di negeri..
Pengen jadi warga negara yang baik, yang taat hukum pun seakan tak bisa. Tak rela mungkin “orang-orang” itu melihat segepok uang disaku kantong nya..hmmm…katanya biar licin semua perkata..hehee

Susahnya jadi orang kaya di negeri ini..
Untuk makan pun susah. Berasa tak enak lidah ini katanya makan ditempat-tempat biasa. Berasa tak nyaman perut ini katanya makan ditempat sembarangan. Berasa tak nyaman mata ini katanya makan di tempat yang tak ada tuan dan nonanya..entah pelayannya mungkin ato pengunjungnya..yang penting rupawan dan puas pula mata ini dibuatnya..suit suiiit…
on Sabtu, 20 Februari 2010
Sudah menjadi keyakinan umum kalau persepsi banyak mempengaruhi cara pandang manusia dengan dunianya. Hampir-hampir semuanya berkaitan dengan persepsi dan cara pandang. Ambil contoh sederhana mengenai merokok. Ada sebagian yang beranggapan merokok akan banyak membantu para buruh dan banyak kaum bawah lain, mengingat begitu banyaknya pihak yang berhubungan dengan rokok, mulai dari petani tembakau, cengkih, sampai pedagang asongan yang “hidup” dari rokok; hingga ia benar merasa cukup “beralasan” untuk merokok. Dan sebagian yang lain, karena banyaknya racun yang bersemayam didalamnya, sungguh-sungguh menjauhi sesuatu yang dinamakan rokok itu. Dan pada akhirnya persepsilah yang menentukan tentang “kenikmatannya” untuk merokok atau tidak merokok sekalipun.

Persepsi menurut KBBI berarti tanggapan (penerimaan) langsung dr sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya. Dari sini sedikit banyak dapat diambil, karenanya berkaitan dengan proses tanggapan dan panca indera, maka “kebijaksanaan” seseorang sangat berpengaruh bagaimana persepsi itu diproduksi. Kebijaksanaan menurut hemat saya tak melulu soal akal, tetapi hatilah yang sebenarnya sangat berpengaruh terhadap persepsi. Hati yang bersih akan mampu melahirkan persepsi yang jenih dan hingga pada gilirannya akan dapat diterima akal.


Pada suatu saat yang sudah telampau lama, ada sebuah perbincangan menarik dengan seorang kawan, dan tiba-tiba dia berucap “menurutmu gelas ini setengah kosong atau setengah isi??” (mengutip dari sebuah judul buku mungkin), tak kujawab karena itu sama saja, dan saya pun sudah tahu arah pembicaaannya kemana. Kawan –kawan sekalian tentunya juga sudah mengetahui kemana arah pembicaraan ini. Ya, hal ini, kata kawan itu, berkaitan dengan cara pandang, proses tanggapan, dan persepsi. Kalau kita beranggapan setengah isi, bisa disimpulkanlah kalau memang kita memiliki cara pandang yang positif, dan kurang lebih seperti itulah yang diharapkan, kita selalu mampu bersyukur dan mengambil sisi positif dari setiap kehidupan yang terjadi dan sudah kita lalui, suka atau tidak suka hal-hal yang telah terjadi itu. Tidak ada yang perlu dipertentangkan, karena secara norma memang sudah demikian yang seharusnya. Tetapi apa yang terjadi dengan dunia kita saat ini? Masih relevankah?

Tidak bisa dipungkiri lagi kalau dunia kita memang sudah semakin permisif dan materialis. Dan saat inilah kemampuan bersyukur, tawakal, dan menggunakan menjadi sangat penting. Ia bisa menjadi semacam rem bagi sifat serakah manusia, dan ia bisa menjadi semacam pelipur lara bagi setiap kelemahan kita. Tetapi ia menjadi berbahaya bila “dikonsumsi dengan dosis yang berlebihan”. Karena bukan lagi menjadi bersyukur, malah sudah menjurus pada tindak kemalasan (Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang mengubahnya??). Pada tahap inilah, bagaimana persepsi bisa dimainkan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya bisa kita manipulasi, hingga akhirnya kita merasakan ada yang salah dengan persepsi karena ketidakkonkretannya. Seorang pekerja yang hanya mendapat sepuluh ribu perhari tetap tidak akan bisa makan tiga kali sehari, entah bagaimanapun ia memanipulasi persepsi. Dan persepsi mungkin bisa mengenyangkan tapi ia tidak benar-benar bisa mengenyangkan. Dan tak ada yang bisa dilakukan kemudian kecuali melawan. Melawan diri kita dari kungkungan pisau persepsi. Melawan penindas persepsi. Dan melawan para penghambat produksi persepsi.