on Jumat, 27 Maret 2009
Semuanya seolah menjadi teramat susah untuk dimengerti. Tak ingin mengiba, tapi tak bisa dipungkiri bahwa memang tiada lagi daya meskipun harapan itu masih tetap ada.

Kebebasan untuk memilih yang katanya dimiliki oleh manusia tiba-tiba mendapat tantangan yang cukup berarti. Apakah ini yang sebenarnya disebut dengan kefaktaan? Dan kalau benar demikian mengapa pula “mereka” harus datang bersamaan? Masih adakah sisa-sisa yang mungkin bisa kuais dan kuisikan pada rongga-rongga harapan yang semoga saja akan terus bersemi. Tak tahulah, biarlah kulalui dengan suka cita seperti pengikut Zeno.

Memang aku hanya sekian diantara luasnya makna yang tidak terangkai. Tapi akan kubuktikan kalau aku mampu merangkainya, minimal menjadikan indah untuk diriku sendiri.


on Sabtu, 21 Maret 2009
Istilah cinta mungkin sering kali terdapat dalam kamus kosakata keseharian kita. Cinta sering membuai kehidupan manusia, khususnya para remaja. Dan cinta yang merasuk pada ranah keremajaan inilah yang seringkali menjadi objek pengkomoditian. Tapi pernahkan diantara kita memikirkan definisi dari istilah ini? Kalaupun ada pasti sangat beragam dan tentunya sangat subyektif. Dan memang cinta mengambil wilayah yang demikian dalam pergulatan antara pribadi kita sebagai entitas yang otonom dengan dinamika sosio-kultural kita. Kita ambil contoh, menyadur dialog bintang film kita yang mengatakan bahwa cinta adalah absurb. Dan kitapun pasti setuju karena memang demikianlah adanya. Sebagai buktinya definisi dari hal ini pasti berbeda antara satu orang dengan orang lain, dan pengalaman akan hal inipun pastinya juga berbeda antara satu orang dengan yang lain. Dari sini semakin menegaskan bahwa cinta adalah sesuatu yang subyektif dan maknawi. Dan sejauh ini, cinta bukankah sesuatu yang material.

Selanjutnya, melihat realitas sosial kita, dapat muncul pertanyaan, bagaimana cinta yang pemaknaannya cenderung terpengaruh oleh keadaan dan kondisi sosial kita selanjutnya ganti berbalik menjadi salah satu yang mempengaruhi dinamika sosio-kultural masyarakat kita pada umumnya??

Pembahasan yang mungkin pertama-tama dapat dilakukan yaitu melihat cinta sebagai suatu komoditas. Pada tahap inilah transformasi dari cinta sebagai suatu yang maknawi kepada suatu tingkatan yang lebih riil, kalau tidak mau disebut material terjadi. Kita lihat kondisi yang berkembang dewasa ini, bahwa pemaknaan akan cinta telah mencapai pada suatu tahapan yang cukup dinamis. Penginterpretasian dan pengungkapan tentang cinta menjalar melampaui berbagai tingkat social, kultural maupun intelektual. Dalam artian cinta adalah sesuatu yang dirasakan universal, tanpa terpengaruh ras, suku, status sosial (mungkin inilah keindahan cinta). Bila kita lihat cinta sebagai komoditi tadi, bagaimana media-media, cetak maupun elektronik, menampilkan cinta bagai barang dagangan yang sewaktu-waktu dapat dibeli dan dirasakan bagi mereka yang mampu untuk melakukanya. Terlepas jitunya kaum kapitalis-hedonis yang dapat mengkomoditikan hal ini, pada tahap inilah pemahaman akan cinta menurut orang-orang itu atau yang terlibat didalamnya sedikit banyak sudah mampu mempengaruhi bagaiman cara pandang kita terhadap cinta. Cinta berubah menjadi sebuah lifestyle, dimana hal ini sudah menjadi semacam gejala sosial. Cinta sebagai sebuah komoditas memang sangat menarik. Kita menjadi bisa menikmati efek dari pemaknaan-pemaknaan cinta yang dimanifestasikan pada sesuatu yang bersifat nyata. Ambil contoh adalah sebuah lagu. Dan hal ini mengandung multiplier efek yang sangat besar pula bagi kondisi sosial masyarakat, menurut saya. Bisa kita lihat bagiamana hamper setiap lagu berbicara tentang cinta. Terutama cinta dalam kaitannya dengan hubungan dua dua insan yang berbeda jenis, laki-laki dan perempuan. Lagu seringkali menjadi pelampiasan dalam pemaknaan cinta, dan sejauh ini adalah pemeknaan yang produktif karena bisa dilihat bagaimana seorang musisi bisa memposisikan cinta ini menjadi sebuah komoditas. Dan akhirnya penyebaran pemaknaan tentang cinta versi ini bisa menyebar kepada masyarakat atas lagu-lagu yang diciptakannya.

Oleh sebab itulah mengapa didepan saya ambil contoh pemahaman cinta yang demikian yaitu dari bintang sinetron tadi. Tak ada yang salah memang apabila kita mengambil posisi yang demikian, tetapi hendaknya, menurut saya kita mampu membedakan bagaimana aplikasi cinta itu dalam keseharian kita. Untuk itulah meminjam istilah tokoh-tokoh sekuler, bahwa menurut saya ada baiknya kita membedakan cinta itu menjadi cinta yang sakral dan cinta yang profan. Saya melihat kondisi realitas sosial kita, sedikit sekali yang mengambil posisi yang semacam itu. Cinta yang sakral itu tidak boleh kita komoditikan, apapun dan bagaimanapun caranya. Dan saya kira masing-masing individu mempunyai kebebasan untuk mendifinikan apakah cinta yang sakral itu ataupun apakah cinta yang profan itu. Sedikit cerita, orang orang yang atheis itu menjadi atheis karena pikiran mereka secara rasional tidak mampu menjangkau atau bahkan mungkin sangat menjangkau suatu Dzat yang dinamakan Tuhan, tetapi para mistikus atau para sufi dapat memberikan alternatif pemecahannya yang mungkin dapat kita coba, yaitu mengenal Tuhan dengan Cinta….


on Jumat, 13 Maret 2009
Akulah yang menanti dirimu wahai kehidupan
Sendirian, tanpa jejak kucoba melangkah
Tanpa kata kucoba berbicara
Tanpa asa, kucoba terbangkan jiwaku ke negeri tempat para resi bertapa dengan mesranya

Mengerilah engkau wahai keabadian

Tak relakah engkau biarkan aku mencicipi secawan anggur saripatimu?
Agar aku bisa bertemu dengan kehidupan
Disini, dikuil para pertapa dengan tulus jiwanya mengabdi

Saat tak ada lagi keabadian, saat tak ada lagi penderitaan
Yang ada hanyalah aku dan kehidupan
Yang bercumbu mesra sembari bermanja
Sambil berdendang dengan syair-syair kemanusiaan diatas pusara ketidakadilan

Akulah kehidupan yang mendambakan kehidupan
Karena yang abadi hanyalah perubahan