on Kamis, 12 November 2009
Nikah, sebuah bahasa sakral yang terucap dari dua sejoli yang sedang atau bahkan tidak pernah sama sekali memadu kasih dan mungkin juga, saling mencintai. Mungkin juga sebuah puncak dari “akad nikah” sebelumnya yang pernah terucap dari “syariat agama gaul”, alias jadian. Tapi ada apa dengan nikah? Membingungkan dan bimbang mungkin bagi sebagian orang. Terasa mengasikkan hingga menyesalinya bagi sebagian yang lain. Atau mungkin menyakitkan hingga tak ingin mengulanginya bagi lain lagi seseorang. Tak apalah jika demikian karena memang sudah seharusnya demikian…
Pernah suatu ketika disebuah infotaintment diberitakan sepasang kekasih yang menikah siri. Sungguh rapat mereka menyipan rahasia hingga berbulan-bulan hiingga akhirnya tercium media. Saat “terbongkar “ (mungkin seperti itu, dengan asumsi saya berprasangka baik tak ada rekayasa popularitas), saat itulah diketahui berbagai kebohongan-kebohongan publik yang mereka lakukan (setidaknya seperti itulah menurut media-media). Lantas adakah sesuatu yang menarik dari hal ini??

Pertama, adalah mengenai nikah itu sendiri. Nikah apapun bentuk dan variannya, telah berkembang sedemikian rupa sehingga terkadang kita menemui distorsi makna dari pernikahan itu sendiri. Siapapun sepakat kalau nikah adalah sebuah ikatan suci yang dilakukan dua orang laki-laki dan perempuan. Dari ikatan suci inilah kemudian akan diimplementasikan visi misi yang telah terumus sebelum atau sesudah pernikahan. Dari ikatan suci inilah relevansi hasrat keberpasangan kita tersalurkan. Dari sini pula, regenerasi genital, moral, spiritual, dan intelektual dilakukan. Hingga kita berada pada suatu titik yang bisa kita ambil sesungguhnya betapa mulia tujuan dari pernikahan itu sendiri. Meskipun tidak bisa dipungkiri pula tujuan-tujuan seperti adalah subyektif dengan memperhatikan berbagai kualitas, mulai dari intelektual sampai kepribadian, orang-orang yang bersangkutan. Dan hendaknya tujuan-tujuan yang mulia ini tidak dirusak oleh ambisi-ambisi dan kesenangan-kesenangan yang mungkin saja hanya bersifat sesaat.

Saat dua sejoli pesohor tadi diwawancarai, dengan pernyataan penuh kemantapan, dengan lantang mengatakan daripada berzina lebih baik menikah, begitu kurang lebih. Hingga terpikir, apakah demikian nikah itu, sekedar “legalilasasi zina” dengan tujuan-tujuannya yang maknawi yang bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan. Bagaimana tidak, saat perzinaan semakin merebak dengan keasyikannya (katanya), nikah dianggap sebagai jalan halal dalam melakukan “zina”. Inilah yang terjadi dimasyakarat kita. Nikah seakan hanya dianggap sebagai halalisasi dari hal-hal yang sebelumnya diharamkan. Apakah juga bisa dianggap sebagai logika kemunafikan, saya rasa anda-anda semualah yang lebih berhak menjawabnya… Anggap saja mereka telah bersiap dan memang telah menyiapkan segala sesuatunya yang dibutuhkan untuk mengarungi bahtera rumah tangga, mulai dari moral, spiritual, sampai materi, tapi bagaimana dengan kenyataan disekitar kita. Hingga puncaknya mungkin kita terpikirkan, mengapa kita menikah??? Tak tahulah, karena niat memang urusan hati, dan sebenar-benarnya urusan hati siapa yang tahu pula kecuali hanya dia dan Tuhan.

Yang kedua, adalah mengenai kesiapan. Dua orang pesohor tadi, yang notabene telah nikah muda, karena sama-sama dibawah 25 tahun, ternyata mempunyai kesiapan mental yang luar biasa karena telah memutuskan untuk menikah siri, setidaknya dan anggap saja seperti itu karena siap menghadapi tekanan-tekanan yang mungkin akan ada. Dan sekali bagaimana dengan orang-orang disekitar kita?? Akan menjadi masalah apabila merasa siap menikah padahal menurut rumusan-rumusan umum dia belum siap menikah, begitu pula sebaliknya. Dengan tujuan-tujuan mulia dari pernikahan, haruskah itu dinodai dengan misalnya sekedar kekhawatiran akan status.

Hingga pada akhirnya semoga kita terjebak,yang oleh Foucault disebut dengan trisabda puritanisme modern; pantangan, ketiadaan, dan kebungkaman…

on Kamis, 01 Oktober 2009
Nikah, sebuah kesakralan dari dua sejoli yang sedang atau bahkan tidak pernah sama sekali memadu kasih dan mungkin juga, saling mencintai. Mungkin juga sebuah puncak dari “akad nikah” sebelumnya yang pernah terucap dari “syariat agama gaul”, alias jadian. Tapi ada apa dengan nikah? Membingungkan dan bimbang mungkin bagi sebagian orang. Terasa mengasikkan hingga menyesalinya bagi sebagian yang lain. Atau mungkin menyakitkan hingga tak ingin mengulanginya bagi lain lagi seseorang. Tak apalah jika demikian karena memang sudah seharusnya demikian…

Pernah suatu ketika disebuah infotaintment diberitakan sepasang kekasih yang menikah siri. Sungguh rapat mereka menyipan rahasia hingga berbulan-bulan hiingga akhirnya tercium media. Saat “terbongkar “ (mungkin seperti itu, dengan asumsi saya berprasangka baik tak ada rekayasa popularitas), saat itulah diketahui berbagai kebohongan-kebohongan publik yang mereka lakukan (setidaknya seperti itulah menurut media-media). Lantas adakah sesuatu yang menarik dari hal ini??

Pertama, adalah mengenai nikah itu sendiri. Nikah apapun bentuk dan variannya, telah berkembang sedemikian rupa sehingga terkadang kita menemui distorsi makna dari pernikahan itu sendiri. Siapapun sepakat kalau nikah adalah sebuah ikatan suci yang dilakukan dua orang laki-laki dan perempuan. Dari ikatan suci inilah kemudian akan diimplementasikan visi misi yang telah terumus sebelum atau sesudah pernikahan. Dari ikatan suci inilah relevansi hasrat keberpasangan kita tersalurkan. Dari sini pula, regenerasi genital, moral, spiritual, dan intelektual dilakukan. Hingga kita berada pada suatu titik yang bisa kita ambil sesungguhnya betapa mulia tujuan dari pernikahan itu sendiri. Meskipun tidak bisa dipungkiri pula tujuan-tujuan seperti adalah subyektif dengan memperhatikan berbagai kualitas, mulai dari intelektual sampai kepribadian, orang-orang yang bersangkutan. Dan hendaknya tujuan-tujuan yang mulia ini tidak dirusak oleh ambisi-ambisi dan kesenangan-kesenangan yang mungkin saja hanya bersifat sesaat.

Saat dua sejoli pesohor tadi diwawancarai, dengan pernyataan penuh kemantapan, dengan lantang mengatakan daripada berzina lebih baik menikah, begitu kurang lebih. Hingga terpikir, apakah demikian nikah itu, sekedar “legalilasasi zina” dengan tujuan-tujuannya yang maknawi yang bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan. Bagaimana tidak, saat perzinaan semakin merebak dengan keasyikannya (katanya), nikah dianggap sebagai jalan halal dalam melakukan “zina”. Inilah yang terjadi dimasyakarat kita. Nikah seakan hanya dianggap sebagai halalisasi dari hal-hal yang sebelumnya diharamkan. Apakah juga bisa dianggap sebagai logika kemunafikan, saya rasa anda-anda semualah yang lebih berhak menjawabnya… Anggap saja mereka telah bersiap dan memang telah menyiapkan segala sesuatunya yang dibutuhkan untuk mengarungi bahtera rumah tangga, mulai dari moral, spiritual, sampai materi, tapi bagaimana dengan kenyataan disekitar kita. Hingga puncaknya mungkin kita terpikirkan, mengapa kita menikah??? Tak tahulah, karena niat memang urusan hati, dan sebenar-benarnya urusan hati siapa yang tahu pula kecuali hanya dia dan Tuhan.

Yang kedua, adalah mengenai kesiapan. Dua orang pesohor tadi, yang notabene telah nikah muda, karena sama-sama dibawah 25 tahun, ternyata mempunyai kesiapan mental yang luar biasa karena telah memutuskan untuk menikah siri, setidaknya dan anggap saja seperti itu karena siap menghadapi tekanan-tekanan yang mungkin akan ada. Dan sekali bagaimana dengan orang-orang disekitar kita?? Akan menjadi masalah apabila merasa siap menikah padahal menurut rumusan-rumusan umum dia belum siap menikah, begitu pula sebaliknya. Dengan tujuan-tujuan mulia dari pernikahan, haruskah itu dinodai dengan misalnya sekedar kekhawatiran akan status.

Hingga pada akhirnya semoga kita terjebak,yang oleh Foucault disebut dengan trisabda puritanisme modern; pantangan, ketiadaan, dan kebungkaman…
on Kamis, 14 Mei 2009
berkata-kata mereka..
bercanda tawa mereka..
bersuka cita mereka..
disini, di altar suci ini....

bersedih hati mereka..
menangis pilu mereka..
merenung murung mereka..
disini, di altar suci ini....

satu..dua..tiga dan semuany bersorak.
memadu kasih atas nama cinta.
lebih dari pemujaan,lebih dari pengharapan.
kuil suci ini telah berubah menjadi pasar kenikmatan....

altar suci dlm kuil suci ini tetap diam.
siapapun yg datang ia diam.
apapun yg mereka lakukan ia tetap diam.
diam..diam..diam..dan ia tetap diam.
kuil suci ini ternyata berdiri tanpa pemuka, tanpa resi, dan tanpa penjaga....

kuil suci ini kini roboh dan tiada lagi berdiri.
mereka pun kebingungan.
mereka pun kehilangan.
mereka kemudian mengais-ais reruntuhan,semoga masih ada yg trsisa utk didirikan kemudian.
lagi,mereka mendirikan kuil suci ini; tanpa resi, tanpa pemuka, dan tanpa penjaga....

kuil suci ini kemudian menangis dan mengadu atas keadaannya kepada altarnya yang selalu kokoh berdiri.
altar diam, dan diam, karena sudah seharusnya ia diam.
memaksa dan ia tetap diam....

tak lama mereka berbondong-bondong datang kembali membawa obor ditangan kanan dan kirinya.
bakar dan membakar, mereka membakar kuil suci ini yang kemarin mereka dirikan.
"Hanguslah, aku tidak membutuhkan kamu lagi.." kata salahsatu dari mereka.
kuil suci ini hangus,roboh dan hancur dengan altarnya yg tetap diam dan berdiri....
Hingga pada akhirnya mereka serentak bertanya,apakah hanya ada altar dalam kuil suci ini?

Sejak SD sampai SMA hampir tiap senin kita mengikuti upacara. Sebagai umat beragamapun,sering kita mengikuti upacara-upacara keagamaan kita. Lantas ada apakah dengan upacara2 ini?

Setiap individu hampir pasti memiliki atribut-atribut yang melekat pada dirinya sbg hasil maupun konsekuensi dari sosialiasasinya dengan bemacam dogma&pemikiran,maupun sebagai sarana komunikasi dengan posisinya sebagai manusia yang berkebutuhan. Hingga bisa dikatakan kalau hal-hal yang menyebabkan adanya atribut itu hilang,hilang pula konsekuensi dari adanya atribut tersebut. Dengan kata lain, suatu hal akan hilang apabila variabel-variabel yang menyebabkan hal itu ada hilang juga. Lantas,bagaimana kalau seandainya itu terjadi pada diri manusia? Manusia pada titik nol, mungkin bisa dikatakan demikian. Manusia tanpa nilai,dan manusia yang benar2 berkuasa pada dirinya,mungkin..Bukan semacam pemberontakan,tapi upacara telah menjadi semacam penyimbolan kita. Bahkan keseharian telah menjadi semacam upacara. Suatu mental perbondongan mungkin saja,dan bisa menenggelamkan manusia pada ketidaksadaran massal. Hingga akhirnya kita sampai pada suatu titik,apakah harus kita ciptakan ruang kita sendiri sebagai sarana bereksistensi? Ada suatu pemecahan menarik dr heidegger. Bukan menarik diri dari keseharian,tetapi tidak pula hanyut dalam keseharian.

Dengan menarik diri dari keseharian, dalam satu titik memang kita bisa mengerti makna ada ny kita. Tapi yang demikian adalah pengecut, karena ide dan gagasan butuh realisasi. Dan pemaknaan dan memberikan sentuhan rasional thd keseharian lah yang menjadi kunci. Hingga saat keseharian telah menjadi semacam upacara, kita tetap mampu untuk tidak tercerabut dari kealamiahan kita. Dimana kecemasan menjadi pintu masuk bagi tersingkapnya ke"ada"an kita. Kecemasan memberi ruang perenungan sekaligus memberikan kesadaran akan keterlemparan kita di dunia ini...
Kesempatan, itulah mungkin kunci bagi ketersingkapan pilihan. Membaca kesempatan, berarti ada peluang mendapatkn pilihan. Mendapatkan pilihan berarti potensi untuk suatu tindakan. Dan tindakan adalah jalan bagi pengabdian. Tapi sesederhana itukah??
Setidaknya tidak ada pilihan dari kita untuk minta dilahirkan sebagai jawa,sunda,batak,dsb.Tiada pula pilihan bagi kita untuk dilahirkan di keluarga islam,kristen,hindu,budha,atheis,dsb. Tidak pula pilihan dilahirkan sebagai anak presiden, pengusaha, pejabat, pemulung, pengemis, dsb.

Dan disuatu hari didalam bis,dalam sebuah prjalanan, naik seorang wanita paruh baya lusuh khas kaum2 marjinal&trpinggirkan dgn anak balita dan seorang anak wanita, yg barangkali adalah anaknya. Balita itu menggendong boneka "maskot galileo" yg jg lusuh. Mungkin ibu nya brharap besar pada anakny,kelak akan hebat spt galileo. Atau setidaknya brpendidikan tinggi sperti penyimbolan dlm bonekanya itu. Tp apakah mereka punya pilihan, ditengah kampanye pndidikan gratis,murah dan brkualitas msih menjadi wacana?

Sesaat dua pengamen datang, pergi, datang yang lain, pergi, dan tetap datang yg laen lgi dan pergi. Ibu itu tanpa segan memilih untuk memberi mereka semua uang yg mungkin ckup brarti baginya. Ibu itu bisa memilih utk memberi karena memiliki uang (kdermawanan dr kaum marjinal yg mengharukan), tp apakah pengamen punya pilihan utk tidak mengamen jika itu adalah sesuatu yg plg menjanjikan baginy? Ada juga Adam yg memilih makan buah khuldi,hingga menyebabkan ia "terlempar" kedunia yg fana ini, yg barangkali bukan pilihannya..

Setiap orang pasti memiliki pilihan dan pada akhirny memilih. Tapi apakah pilihan itu sekehendak dgn hatinya,belum tentu. Apakah pilihan itu identik dgn duit seperti korban rob yg seringkali rumahnya terendam rob,sedangkan ia tidak bisa berbuat apa2 untuk memilih "membeli kenyamanan" hanya karena ia tidak berduit?? Ataukah identik dgn intektualitas seperti seorang dosen yg memilih mengajar matkul A drpd matkul B, padahal ia matang dikeduanya?? Mungkin hanya diri kita yang tahu..Atau jangan-jangan ungkapan "hidup adalah pilihan" hanya sesuai bagi mereka2 yg diuntungkan oleh nasib??
on Sabtu, 02 Mei 2009
Manusia adalah makhluk sosial ciptaan Tuhan yang paling sempurna dengan kualitas intelektual yang dimilikinya. Atas dasar inilah, sosialisasi menjadi kebutuhan sekaligus merupakan konsekuansi alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia. Artinya, dalam suatu kondisi normal tanpa suatu distorsi yang berarti, manusia akan selalu bersosialisasi apapun dan bagaimanapun keadaan yang menyertainya. Untuk itulah dikenal suatu komunitas manusia yang dinamakan masyarakat. Atas dasar kualitas intelektual yang dimiliki oleh manusia ini pulalah, sudah sepantasnya manusia membangun suatu model masyarakat yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling berkualitas secara intelektual dan paling tinggi derajadnya. Dan konsep masyarakat madani adalah jawabannya.

Masyarakat madani secara sederhana bisa dipahami sebagai masyarakat berperadaban dan berbudaya. Dari pengertian ini, masyarakat Yunani kuno bisa dianggap telah mencapai suatu kondisi masyarakat madani, karena seperti yang kita tahu, pada saat itu, bangsa Yunani telah mencapai suatu tingkat peradaban yang sangat tinggi untuk zamannya, dimana instrumenn-instrumen sosialnya mampu berfungsi dengan baik, dan mampu melahirkan manusia-manusia berkualitas macam Socrates, Plato, Aristoteles. Tapi bagaimanakah masyarakat madani itu dalam konteks keislaman? Karena seperi yang kita tahu, terminologi ini dikenal luas sebagai suatu konsep masyarakat yang berasal dari dunia Islam. Masyarakat madani dalam konteks Islam bisa dipahami sebagai masyarakat berperadaban dan berbudaya yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam setiap lini kehidupannya. Manusia sebagai entitas terkecil dari suatu masyarakat dituntut tidak hanya harus bisa membangun hubungan baik dengan Tuhannya, melainkan juga harus mampu membina hubungan baik dengan sesama manusia dan dengan alamnya. dari sinilah peran hukum Islam sangat penting sebagai penuntun untuk tercapainya suatu kondisi ideal kemasyarakatan dalam bingkai masyarakat madani.

Nilai-nilai keislaman yang dimanifestasikan dalam hukum islam inilah yang selanjutnya harus kita jaga dan kita amalkan secara konsisten. Sehingga muncul wacana formalisasi hukum Islam. Meskipun kemudian muncul suatu polemik mengenai hukum Islam dari mahzab mana yang harus kita pakai, tetapi ada satu hal yang harus digaris bawahi bahwa penerapan hukum Islam hendaknya membawa suatu kemaslahatan bersama, tidak hanya bagi umat Islam sacara internal tapi juga kepada masyarakat umum. Karena seperti yang kita tahu, dalam piagam madinah yang merupakan dasar-dasar masyarakat islam madani, diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban.

Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang lebih penting dilakukan yaitu bagaimana agar nilai-nilai keislaman itu bisa membumi, yang dapat senantiasa mewarnai setiap aktivitas manusia sebagai anggota komunitas sosialnya. Untuk itulah peran pemberdayaan manusia secara individual menjadi sangat penting disini. Bagaimana agar setiap manusia memiliki suatu kualitas yang tinggi, tidak hanya dalam intelektualnya, tetapi juga secara emosional maupun spiritual. Ketiga hal ini sangat berkaitan erat dengan pendidikan, dimana menurut hemat saya belum mendapatkan cukup perhatian di negara kita meskipun ada peningkatan kearah sana, tetapi masih terkesan setengah hati dan cenderung tidak konsisten. Atau dengan kata lain, pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan terwujudnya suatu masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban.

Intelektual, menurut Prof. Komaruddin Hidayat bisa diartikan sebagai sifat yang berkaitan dengan wawasan, pengetahuan dan kepedulian tentang masalah-masalah umum (sosial, budaya, politik agama, dan sebagainya, nasional maupun internasional). Ada poin penting yang bisa kita garis bawahi disini, yaitu seorang intelektual tidak hanya berwawasan atau berpengetahuan, tetapi juga harus peduli. Untuk itulah tidak heran, apabila ada yang mengatakan bahwa semangat intelektual adalah pengabdian. Juga dari seorang Aristoteles yang pernah mengatakan bahwa tentu saja juga tidak masuk akal jika membayangkan seseorang menerima banyak berkah tapi menyendiri, sebab tidak ada seorangpun yang ingin memiliki segala yang baik namun tetap menyendiri, sebab manusia adalah makhluk politik, yang sifatnya cenderung hidup bersama orang-orang lain.

Sejalan dengan yang diutarakan pada awal tulisan ini bahwa manusia adalah makhluk sosial ciptaan Tuhan yang paling sempurna derajadnya dengan kualitas intelektual yang dimilikinya, maka pada dasarnya intelektual dan kodrat manusia sebagai makhluk sosial itu sangat berkaitan erat. Dan diinilah, menurut hemat saya, menjadi dasar bagi terbentuknya masyarakat madani. Sosialisme masyarakat ini harus senantiasa mewarnai dalam setiap sendi-sendi kehidupan tidak bisa tidak. Dan pada akhirnya masyarakat madani tidak akan pernah bisa terbentuk atas dasar eksklusivisme dalam bagaimanapun bentuknya. Bahkan ekslkusivisme yang mengatasnamakan agama sekalipun. Karena seperti yang telah kita saksikan, tidak jarang eksklusivisme menimbulkan fanatik buta yang tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan horizontal dalam masyarakat.

Selanjutnya yang menjadi perhatian adalah bagaimana eksklusivisme ini dapat dikikis, sehingga timbul suatu kondisi masyarakat harmonis, saling menghargai dan menghormati, yang dapat menjadi rumah bagi semua suku,agama, ras dan golongan. Sebagian kalangan menjawab dengan demokrasi. Semahal apapun demokrasi, dan bagaimanapun rupa dan bentuknya dalam aplikasi di berbagai macam kondisi sosial-ekonomi yang berbeda, demokrasi telah secara nyata menjadi suatu sistem kemasyarakatan-kenegaraan yang paling banyak dianut oleh negara-negara dimuka bumi ini, sekaligus didambakan oleh banyak manusia yang hidup dibawah kekangan penguasa otoriter, yang notabene menjadi antitesis dari demokrasi itu sendiri. Bagaimana pertempuran besar ini berjalan dan akan berakhir, saya kira banyak dari kita punya opini dan penilaian yang berbeda…

Salam..

-->
Dunia seakan sudah semakin permisif. Mengobrak-obrik kebebasan atas nama “kebebasan” demi hal-hal kasat mata. Lihatlah bagaimana orang-orang lebih bangga dengan perbondongannya yang tak tahu malu dan tanpa otak lebih daripada sekedar merenungi betapa banyak nyawa-nyawa yang terhempaskan atas nama ketidakadilan, dan menjadi semakin ironis karena justru dari sini eksploitasi atas keterasingan semakin brutal dan menjadi-jadi. Dan bisa kita lihat, sebiji sabun mandi ternyata lebih berkuasa dari diri kita.Busuk!!

Salah satu dampak yang tidak terelakkan adalah hegemoni atas makna yang semakin menguat, seakan-akan tiada lagi menyisakan sedikit ruang untuk bernafas dan berekspresi bagi jiwa dan intelektualitas kita. Penyetiran atas makna dengan segala alat-alatnya seolah menguatkan tuduhan bahwa manusia sebagai makhluk paling berakal dibumi ini tak mempu lagi memenuhi hasratnya untuk merdeka. Atau jangan-jangan hegemoni itu telah sampai pada suatu titik yang mempengaruhi sedemikian rupa sehingga mentalitas manusia yang sejak penciptaannya menjadi kebanggaan itu menjadi hilang, diganti dengan “mentalitas-mentalitas” yang entah darimana ia berasal. Menurut sebagian kalangan modernisasi adalah kambinghitam dari segala permasalahan ini. Perbondongan dan keseragaman sebagai hasil dari buah pikir dan khotbah media. Tidak sepenuhnya salah tapi ada hal-hal yang harus digaris bawahi bahwa kita berada pada dunia penuh kerelatifan. Kerelatifan sebagai bawaan dari adanya dunia ini.

Dan budaya massa pun tak bisa lepas dari kerelatifan ini. Nilai nilai senatiasa berubah menurut kehendak tangan-tangan yang bisa saja tidak kita pahami. Tapi ia berubah dan senantiasa berubah dengan penuh kesadaran. Omongkosong kalau ia dinamis bergerak kearah yang tidak bisa sadari. Ada semacam kesadaran besar dengan penuh arti yang menggiring perbondongan dan keseragaman ini. Meskipun tak juga kita bisa menuduh pergerakan ini adalah hasil rekayasa yang disengaja, tapi kesadaran akan pergerakan nilai-nilai ini lah yang patut lawan dengan kesadaran kita juga sebagai makhluk merdeka.

Ada beberapa hal yang mengakibatkan munculnya kesadaran ini. Dan ini bukan hanya berurusan pada modal dan pemilk modal, meskipun hal ini juga memberikan kontribusi yang sangat besar. Dan pada tahap ini bisa kita lihat modal telah menjelma menjadi sebuah kekuatan penuh kuasa yang bisa mengobrak-abrik tatanan yang pada dasarnya telah dianggap mapan. Pemilik modal bisa menggiring perbondongan-perbondongan ini menjadi apa yang ia kehendaki. Dan disinilah potensi manusia sebagai makhluk pemangsa mendapatkan relevansinya. Dan menjadi semakin berbahaya karena tidak hanya menyerang pada hal-hal yang secara fisik dapat kita rasakan, tetapi telah merasuk pada tatanan yang cukup abstrak; intelektual hingga mentalitas hingga dapat mengaburkan kesadaran kita sebagai makhluk yang merdeka.

Lantas bagaimana kita menyikapinya? Kesadaran, sekali lagi dengan kesadaran. Kesadaran harus kita tumbuhkan dan kita harus mampu melawan “kesadaran” mereka. Bukan hanya penguasa-penguasa tiran yang harus dan patut kita robohkan, lebih dari itu, penguasa-penguasa makna harus mampu kita lenyapkan. Dan perjuangan kaum revolusioner, reformis, dan pembaharuan sekarang harus mampu menyentuh pada tahap ini. Kapitalisme hedon memang telah cukup kuat dan lama berkuasa. Dan ia telah menjadi lebih kuat dari orde baru sekalipun, karena ia pula yang menjiwai orde baru. 

Dan apa yang bisa kita lakukan? Tak ada jalan lain kecuali melawan. Sadar bahwa kita tertindas, sadar bahwa mereka harus lenyapkan, dan tradisi intelektual harus ditumbuhkan…Merdeka!!!


on Jumat, 27 Maret 2009
Semuanya seolah menjadi teramat susah untuk dimengerti. Tak ingin mengiba, tapi tak bisa dipungkiri bahwa memang tiada lagi daya meskipun harapan itu masih tetap ada.

Kebebasan untuk memilih yang katanya dimiliki oleh manusia tiba-tiba mendapat tantangan yang cukup berarti. Apakah ini yang sebenarnya disebut dengan kefaktaan? Dan kalau benar demikian mengapa pula “mereka” harus datang bersamaan? Masih adakah sisa-sisa yang mungkin bisa kuais dan kuisikan pada rongga-rongga harapan yang semoga saja akan terus bersemi. Tak tahulah, biarlah kulalui dengan suka cita seperti pengikut Zeno.

Memang aku hanya sekian diantara luasnya makna yang tidak terangkai. Tapi akan kubuktikan kalau aku mampu merangkainya, minimal menjadikan indah untuk diriku sendiri.


on Sabtu, 21 Maret 2009
Istilah cinta mungkin sering kali terdapat dalam kamus kosakata keseharian kita. Cinta sering membuai kehidupan manusia, khususnya para remaja. Dan cinta yang merasuk pada ranah keremajaan inilah yang seringkali menjadi objek pengkomoditian. Tapi pernahkan diantara kita memikirkan definisi dari istilah ini? Kalaupun ada pasti sangat beragam dan tentunya sangat subyektif. Dan memang cinta mengambil wilayah yang demikian dalam pergulatan antara pribadi kita sebagai entitas yang otonom dengan dinamika sosio-kultural kita. Kita ambil contoh, menyadur dialog bintang film kita yang mengatakan bahwa cinta adalah absurb. Dan kitapun pasti setuju karena memang demikianlah adanya. Sebagai buktinya definisi dari hal ini pasti berbeda antara satu orang dengan orang lain, dan pengalaman akan hal inipun pastinya juga berbeda antara satu orang dengan yang lain. Dari sini semakin menegaskan bahwa cinta adalah sesuatu yang subyektif dan maknawi. Dan sejauh ini, cinta bukankah sesuatu yang material.

Selanjutnya, melihat realitas sosial kita, dapat muncul pertanyaan, bagaimana cinta yang pemaknaannya cenderung terpengaruh oleh keadaan dan kondisi sosial kita selanjutnya ganti berbalik menjadi salah satu yang mempengaruhi dinamika sosio-kultural masyarakat kita pada umumnya??

Pembahasan yang mungkin pertama-tama dapat dilakukan yaitu melihat cinta sebagai suatu komoditas. Pada tahap inilah transformasi dari cinta sebagai suatu yang maknawi kepada suatu tingkatan yang lebih riil, kalau tidak mau disebut material terjadi. Kita lihat kondisi yang berkembang dewasa ini, bahwa pemaknaan akan cinta telah mencapai pada suatu tahapan yang cukup dinamis. Penginterpretasian dan pengungkapan tentang cinta menjalar melampaui berbagai tingkat social, kultural maupun intelektual. Dalam artian cinta adalah sesuatu yang dirasakan universal, tanpa terpengaruh ras, suku, status sosial (mungkin inilah keindahan cinta). Bila kita lihat cinta sebagai komoditi tadi, bagaimana media-media, cetak maupun elektronik, menampilkan cinta bagai barang dagangan yang sewaktu-waktu dapat dibeli dan dirasakan bagi mereka yang mampu untuk melakukanya. Terlepas jitunya kaum kapitalis-hedonis yang dapat mengkomoditikan hal ini, pada tahap inilah pemahaman akan cinta menurut orang-orang itu atau yang terlibat didalamnya sedikit banyak sudah mampu mempengaruhi bagaiman cara pandang kita terhadap cinta. Cinta berubah menjadi sebuah lifestyle, dimana hal ini sudah menjadi semacam gejala sosial. Cinta sebagai sebuah komoditas memang sangat menarik. Kita menjadi bisa menikmati efek dari pemaknaan-pemaknaan cinta yang dimanifestasikan pada sesuatu yang bersifat nyata. Ambil contoh adalah sebuah lagu. Dan hal ini mengandung multiplier efek yang sangat besar pula bagi kondisi sosial masyarakat, menurut saya. Bisa kita lihat bagiamana hamper setiap lagu berbicara tentang cinta. Terutama cinta dalam kaitannya dengan hubungan dua dua insan yang berbeda jenis, laki-laki dan perempuan. Lagu seringkali menjadi pelampiasan dalam pemaknaan cinta, dan sejauh ini adalah pemeknaan yang produktif karena bisa dilihat bagaimana seorang musisi bisa memposisikan cinta ini menjadi sebuah komoditas. Dan akhirnya penyebaran pemaknaan tentang cinta versi ini bisa menyebar kepada masyarakat atas lagu-lagu yang diciptakannya.

Oleh sebab itulah mengapa didepan saya ambil contoh pemahaman cinta yang demikian yaitu dari bintang sinetron tadi. Tak ada yang salah memang apabila kita mengambil posisi yang demikian, tetapi hendaknya, menurut saya kita mampu membedakan bagaimana aplikasi cinta itu dalam keseharian kita. Untuk itulah meminjam istilah tokoh-tokoh sekuler, bahwa menurut saya ada baiknya kita membedakan cinta itu menjadi cinta yang sakral dan cinta yang profan. Saya melihat kondisi realitas sosial kita, sedikit sekali yang mengambil posisi yang semacam itu. Cinta yang sakral itu tidak boleh kita komoditikan, apapun dan bagaimanapun caranya. Dan saya kira masing-masing individu mempunyai kebebasan untuk mendifinikan apakah cinta yang sakral itu ataupun apakah cinta yang profan itu. Sedikit cerita, orang orang yang atheis itu menjadi atheis karena pikiran mereka secara rasional tidak mampu menjangkau atau bahkan mungkin sangat menjangkau suatu Dzat yang dinamakan Tuhan, tetapi para mistikus atau para sufi dapat memberikan alternatif pemecahannya yang mungkin dapat kita coba, yaitu mengenal Tuhan dengan Cinta….


on Jumat, 13 Maret 2009
Akulah yang menanti dirimu wahai kehidupan
Sendirian, tanpa jejak kucoba melangkah
Tanpa kata kucoba berbicara
Tanpa asa, kucoba terbangkan jiwaku ke negeri tempat para resi bertapa dengan mesranya

Mengerilah engkau wahai keabadian

Tak relakah engkau biarkan aku mencicipi secawan anggur saripatimu?
Agar aku bisa bertemu dengan kehidupan
Disini, dikuil para pertapa dengan tulus jiwanya mengabdi

Saat tak ada lagi keabadian, saat tak ada lagi penderitaan
Yang ada hanyalah aku dan kehidupan
Yang bercumbu mesra sembari bermanja
Sambil berdendang dengan syair-syair kemanusiaan diatas pusara ketidakadilan

Akulah kehidupan yang mendambakan kehidupan
Karena yang abadi hanyalah perubahan
on Senin, 23 Februari 2009
Bahasa adalah rumah ada. Dan dirumahnya manusia tinggal. Mereka yang berfikir dan mereka yang mencipta dengan kata-kata adalah para penjaga rumahnya.(Martin Heidegger).

Dari penjelasan singkat ini dapat diambil kesimpulan bahwa kata sangat berperan dalam mendefinisikan dan mendeskripsikan sesuatu dengan segala keterbatasannya tentunya. Termasuk cinta. Cinta yang oleh sebagian kalangan dianggap sesuatu yang absurd mampu diimajinasikan dengan baik dengan kata-kata. Dan karena itulah muncul anggapan bahwa cinta memang harus diungkapkan(??).

Dilain pihak adalah Sartre dengan pernyataannya;”eksistensi mendahului esensi”. Disinilah menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, yang memiliki eksistensi, dalam lingkungannya. Termasuk cinta. Cinta menurut hemat saya bermula dari manusia dengan segala keadaannya dengan kondisi sosio kultural yang menyelingkupinya. Atas dasar inilah apabila kita kaitkan dengan paragraf diatas ada keterkaitan yang menarik, bahwa cinta dengan beberapa bentuknya yang sederhana, termasuk cinta sepasang manusia, karena melibatkan manusia sebagai subyek cinta, memang harus diungkapkan apabila esensi dari cinta dalam kaitannya dengan keberadaan manusia sebagai makhluk yang mendambakan cinta, memang ingin diketahui.

Suara kehidupanku memang tak akan mampu menjangkau telinga kehidupanmu; tapi marilah kita cuba saling bicara barangkali kita dapat mengusir kesepian dan tidak merasa jemu.(Kahlil Gibran)
on Jumat, 06 Februari 2009
Pertanyaan yang sering muncul dari setiap sudut otak menusia salah satunya adalah mengenai problem eksistensi. Seberapa sadarkah kita mengetahui tentang eksistensi kita sendiri? Seberapa dalamkah kita faham tentang makna keterjadian kita?

Bermacam pemikiran tentang hal ini telah diutarakan. Dan kesimpulan yang didapat tetap saja normatif dan cenderung kasusistis, karena jawaban hasil dari kontemplasinya cenderung tersegmentasi dan sangat jauh dari kesan menyeluruh. Hal ini bisa kita maklumi, dan sejauh ini harus berjalan demikian, karena suatu perenungan ada karena ada kondisi eksternal kejiwaan maupun sosio-kultural yang menyertainya. Sebagai misal, tak mungkin ada suatu teori nilai lebih apabila Karl Marx hidup dalam suatu masyarakat buruh yang makmur dan diperlakukan adil (adil menurut Karl Marx tentunya). Oleh sebab itulah hasil perenungan ini cenderung bersifat subyektif. Seperti yang diutarakan Jespers bahwa sebagai subyek kita berbeda-beda, maka dalam pengamatan kita terhadap dunia kita masing-masing akan berbeda-beda pula.

Melalui proses perenungan yang bermuara pada kesubyektifan manusia inilah eksistensi manusia dapat teraktualisasi. Manusia sebagai kenyataan subyektif ini berkaitan erat dengan titik tolak bahwa manusia adalah sumber dari segala pengamatan. Seperti yang diutarakan oleh Soren Kierkegaard, bahwa yang konkret dan yang nyata adalah apa yang individual dan subyektif, bukan apa yang dipukul rata dan obyektif. Dan sekali lagi, rumusan diatas muncul atas suatu pemikiran yang berkembang pada saat itu, bahwa sesuatu yang dinyatakan sebagai kebenaran, harus dapat dinyatakan sebagai suatu pemikiran yang pasti. Disamping itu, sesuatu pemikiran tentang kenyataan haruslah dinyatakan dalam rumus-rumus yang berlaku umum. Apa yang universal itulah yang mendapat tempat, bukan yang partikular. Disinilah obyektifitas mendapat tempat yang cukup nyaman.

Menurut uraian diatas, tidak memilihpun sudah merupakan suatu pilihan, sejauh tidak memilih itu ada argumentasi yang baik ataupun yang buruk menurut dirinya. Dia yang tidak memilih itupun tidak bisa dikatakan sedang mengalami kebingungan pada pailihan-pilihan yang ada dihadapannya, karena dengan berasumsi ia menggunakan logikanya secara rasional, maka tidak memilih tadi akan menjadi bermakna dalam artian ia telah mengalami aktualisasi dalam kaitannya dengan pilihan yang telah ia buat untuk tidak memilih.

Sebagai konsekuensi dari aktualisasi eksistensi manusia ini, interaksi manusia dengan lingkungan sosialnya dengan segala bentuknya menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat terelakkan lagi. Pemahaman akan peran sosial manusia menjadi sangat penting disini. Dalam agamapun sudah dijelaskan bahwa kedudukan manusia dibumi ini adalah sebagai pemimpin. Sebagai seorang pemimpin, maka kita dituntut agar menjadikan diri kita menjadi seorang pribadi yagn berkualitas, tidak hanya individual, tetapi juga sosial maupun kultural. Seorang yang berkualitas secara individual adalah manusia yang berilmu, yang dengan ilmu yang dimilikinya dia mampu menyerap, memproses, dan menciptakan ide secara baik dan berkualitas. Pada tahap ini ide dan ilmu baru sebatas memenuhi dahaga intelektual manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling berakal. Kualitas sosial adalah manusia yang mampu bermanfaat bagi masyarakat. Unsur terpentingnya adalah pengabdian. Manusia tidak hanya mempu mendialektikakan ide dalam dirinya sendiri, tetapi lebih dari itu harus mampu mengaktualisasikan dan mangimplementasikan dalam masyarakat. Kualitas kultural adalah kualitas manusia dimana ide-ide dan pemikiran manusia itu sudah mampu merubah kultur dan cara pandang masyarakat. Adam Smith, Karl Marx, adalah cantoh nyata manusia yang sudah mampu mencapai kualitas ini.

Masih berkaitan dengan eksistensi diatas, ada suatu kondisi menarik apabila kita dihadapkan pada suatu pertanyaan “siapakah aku?”. Pertanyaan yang terilihat cukup sederhana, tetapi sesungguhnya membutuhkan suatu pemaknaan yang dalam. Bisa saja dijawab aku adalah Abdul misalnya, karena namaku adalah Abdul. Tetapi apakah demikian halnya apabila namaku tidak lagi Abdul, atau bahkan aku tidak punya nama. Jawaban Abdul tentu saja sudah tidak relevan lagi atau dengan kata lain, Abdul itu sudah menjadi tidak bermakna. Pemaknaan terhadap eksistensi Abdul bisa diangggap telah gagal, karena Abdul kini sudah tidak bermakna lagi. Artinya tidak ada rasionalitas dalam mengeksiskan orang tadi menjadi Abdul hanya karena namanya Abdul. Dalam konteks inilah perlunya aksi dan tindakan nyata kita dalam kaitannya dengan aktualisasi diri kita sebagai makhluk Tuhan paling berakal.

Pemaknaan seharusnya tidak hanya melalui perenungan sesaat saja. Contoh sedarhananya, kita pasti punya atau setidaknya pernah punya suatu barang dalam kamar kita yang karena tidak berarti menurut kita jarang sekali kita memperhatikannya. Secara harfiah barang itu ada tapi apakah barang itu benar-benar ada masih perlu dipertanyakan. Dalalm artian apakan ia benar-benar ada dalam subyeknya sebagai benda tadi mesih perlu dipertanyakan. Begitu halnya dengan kita. Dalam suatu komunitas masyarakat selama kita masih hidup, secara harfiah pasti tidak ada yang menyangkal bahwa kita ada. Tetapi apakah kita akan benar-benar ada masih perlu dipertanyakan tergantung apa yang telah, sedang dan akan kita perbuat untuk masyarakat. Pada intinya eksistensi tidak hanya butuh suatu kontemplasi, tetapi lebih dari itu, yaitu suatu aksi. Dan ini menurut hemat saya menjadi sangat penting ditengah keseragaman yang melanda llingkungan kita dewasa ini.

Meskipun demikian, eksistensi ini bukanlah suatu tujuan akhir yang semata-mata hendak kita capai didunia ini. Dalam agama telah dijelaskan, Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu. Dan inilah hakekat tujuan utama kita hidup didunia. Beribadah itu sendiripun mencakup suatu pengertian yang sangat luas salah satunya mencakup hubungan sosial kita kepada masyarakat. Pada konteks inilah, penyadaran terhadap apa yang telah dan akan kita perbuat untuk masyarakat menjadi sangat penting.
Sering bagi kita menyimak berbagai hal tentang perubahan. Entah dalam lingkup pemerintahan negara maupun dalam hubungan antar personal kita sebagai entitas terkecil dalam masyarakat. Banyak orang berteriak-teriak tentang perubahan, entah menuntut diadakannya perubahan atau berjanji-janji manis akan melakukan perubahan. Entah mereka sadar atau tidak, paham atau tidak, yang jelas perubahan seakan sudah menjadi semacam komoditas, yang bisa dan siap dieksploitasi untuk kepentingan sesaat. Bahkan mungkin karena seringnya kita mendengar atau melihatnya dibicarakan orang, kata ”perubahan” itu sendiri seakan-akan menjadi tidak bermakna. Meskipun ada sebuah ungkapan bahwa yang abadi didunia ini hanya perubahan, tetapi apabila pemaknaan tentang perubahan tadi menjadi kosong bisa dibayangkan betapa tidak berartinya dunia kita, dan bisa dikatakan disini kita memasuki wilayah yang berbahaya karena terjebak oleh suatu penyakit yang disebut dengan stagnasi. Meskipun ada jargon-jargon tentang perubahan, hal itu tak lain adalah jargon kosong tanpa suatu substansi dan cenderung tidak konkret.

Suatu perubahan biasanya diawali dengan refleksi atas suatu realita sosial yang berkembang. Sehingga kunci dari perubahan itu sendiri adalah kemampuan kita merefleksikan realitas sosial itu secara proporsional, objektif dan kritis. Refleksi disini adalah proses analitis, dan outputnya adalah ide. Kita tidak sedang memerankan suatu lakon dalam sebuah sandiwara disini, dimana perubahan sebelumya telah diskenario sedemikian rupa, sehingga apa yang terjadi seperti apa yang diharapkan atau tidak meleset jauh dari apa yang dibayangkan. Disini ”perubahan” seakan-akan tampak benar-benar sebagai perubahan padahal tidak sama sekali.

Perubahan atas realitas sosial disini adalah sebuah proses yang ”alami”, dimana hubungan antar satu hal dengan hal lain dalan suatu komunitas sosio-kultural adalah saling kait-mengkait dan mempengaruhi. Proses refleksi itu sendiri bisa berjalan efektif apabila ada sebuah resistensi terhadap suatu kemapanan pemikiran yang dominan. Pada tahap inilah metode Hegel tesis-antitesis-sintesis bisa diaplikasikan. Sintesis dalam hal ini adalah sebuah hasil dari aspirasi tentang perubahan sebagai akibat hantaman antitesis tarhadap kemapanan pemikiran yang dominan dan berkembang (tesis). Selanjutnya sintesis inipun kemudian akan menjadi sebuah tesis yang baru yang siap untuk dikritisi oleh antitesis yang baru pula, begitu seterusnya. Mirip seperti yang dikatakan oleh Baruch Spinoza (1632-1677) bahwa dalam pikiran tidak ada kehendak mutlak atau bebas; namun pikiran diharuskan untuk menghendaki ini atau itu oleh suatu penyebab yang juga ditentukan oleh penyebab yang lain, dan penyebab yang lain itu juga ditentukan oleh penyabab yang lainnya lagi, dan seterusnya tiada terhingga. Untuk itulah mengapa proses dialogis terhadap kemapanan pemikiran yang dominan perlu dilakukan untuk dapat mengakomodir realitas sosial yang berkembang dan sebagai jalan menuju dinamisasi sosial.

Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu kita tegaskan dahulu, bagaimana kita mendefinisikan perubahan itu sendiri? Perubahan yang dipahami hanya sebagai asal berubah tanpa memandang substansi yang mengiringinya akan menjadi kontradiktif dan cenderung kontraproduktif. Perubahan hendaknya dipahami sebagai proses transformasi ide dan pemikiran kita yang kemudian dimanifestasikan dalam sebuah tindakan nyata. Tidak hanya berwacana, tetapi bagaimana ide itu bisa diimplementasikan ke dalam tindakan yang sebenarnya. Semakin rasional dan aplikatif ide itu maka semakin mampu menjawab kondisi realitas sosial yang berkembang, sehingga akan lebih bisa diterima masyarakat dan pada akhirnya mempengaruhi ide-ide personal sebagai bagian terkecil dari masyarakat itu sendiri. Dan akhirnya akan mendorong tumbuh kembangnya ide. Karena permulaan perubahan adalah ide, maka instrumen-instrumen sosial yang ada dalam masyarakat harus bisa menjamin dan mendukung tumbuh dan berkembangnya ide-ide tersebut, bila tak mau perubahan dilakukan secara radikal seperti saat peristiwa 98. Karena perubahan adalah suatu peristiwa alamiah, maka apabila suatu kondisi sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman, sekuat apapun distorsinya, cepat atau lambat perubahan pasti akan terjadi. Mengutip Angelus Silesius (1624-1677) bahwa semakin kita membiarkan setiap suara bernyanyi dengan nadanya sendiri, semakin kaya keanekaragaman nyanyian yang dilagukan dengan serempak.

Yang dimaksud rasional atas adalah menggunakan akal pikiran sebagai landasan ide dan kemampuan kita membaca realitas sosial yang berkembang. Seperti yang dikatakan Rene Descartes (1596-1650) bahwa dalam masalah-masalah yang hendak kita selidiki, penyelidikan kita haruslah diarahkan, bukan pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, juga bukan pada apa yang kita perkirakan sendiri sendiri, namun pada apa yang bisa kita simpulkan secara pasti, karena pengetahuan tidak bisa diperoleh dengan cara lain. Sekilas memang tampak konradiktif dengan cara hegel tesis-antitesis-sintesis. Tetapi sebenarnya tidak. Yang ada pertama adalah realita. Dari sini kita menggunakan pernyataan Descartes tadi. Maka akan timbul ilmu pengetahuan (baca:ide) yang baru. Dan tidak menutup kemungkinan hal ini akan dilakukan oleh banyak orang sehingga akan menghasilkan lebih banyak ide. Sehingga kemudian pertukaran pemikiran terjadi dan sintesispun akan terjadi. Dari sintesis ini dapat dijadikan rekomendasi untuk melahirkan sebuah perubahan. Inilah proses ”alami” itu. Tidak demikian halnya apabila kita sedang bersandiwara. Untuk itulah pertukaran pemikiran menjadi penting dan resistensi lebih penting lagi untuk menciptakan tata kehidupan yang seimbang. Agar proses-proses ini berjalan efektif diperlukan suatu iklim yang demokratis dan intelektual. Iklim intelektual diperlukan dalam upaya penciptaan ide. Dan secara singkat demokrasi diperlukan untuk menyemarakkan ide dan resistensi. Serta mencegah otoriternya penguasa sehingga sandiwara terhadap perubahan dengan otomatis dapat dicegah. Yang dimaksud resistensi disini adalah perlawanan ide. Resistensi perlu dikembangkan, selain tentunya perlu mengembangkan sikap toleransi atas perbedaan pendapat yang terjadi. Semakin banyak ide berkembang maka peluang keterjadian sebuah perubahan menjadi lebih besar dan lebih mampu menciptakan perubahan yang berkualitas. Bisa dibayangkan pula apabila dalam suatu komunitas dipimpin oleh otoritas yang begitu dominan, maka siapapun yang pasti tidak akan bisa menjamin akan terjadi sebuah perubahan berkualitas dan bisa mengakomodasi setiap kepentingan dalam komunitas yang dipimpinnya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah menciptakan sebuah sandiwara tentang perubahan sebagai sebuah formalitas untuk menciptakan suatu kondisi seolah-olah paham akan perubahan realitas sosial yang terjadi karena kekuasaan ada dan didapat untuk dipertahankan, tidak hanya lewat personal, tetapi meliputi juga kepentingan dan pemikiran. Pada akhirnya proses perubahan ini haruslah diarahkan kepada sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga bisa menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang lebih baik pula.

Lalu bagaimana dengan negara kita? masyarakat kita? Yang jelas kita percaya manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi derajadnya, yang dianugerahi akal dan pikiran yang paling baik kualitasnya. Adakalanya kita harus berfikir dan bertindak secara kritis dan objektif, meskipun pahit. Apalagi sebagai seorang mahasiswa yang notabene dibesarkan oleh tradisi intelektual yang kental, kejujuran kita untuk berfikir dan bertindak sangat diperlukan. Maka tak heran apabila ada yang mengatakan bahwa tanggung jawab intelektual adalah tentang pengabdian. Dan perubahan adalah salah satunya.

Bertindaklah sedemikian rupa sehingga selalu menghargai kemanusiaan, baik yang terdapat dalam dirimu sendiri maupun sembarang orang lain, bukan hanya sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan. Immanuel Kant (1724-1804)
on Kamis, 05 Februari 2009
Nilai apa yang terjadi belakangan ini menurutku cukup susah ditarik suatu korelasi hikmahnya kalau tidak mau dikatakan saya tidak bisa mengambilnya sama sekali. Ataukah mungkin itu terjadi karena terlalu banyaknya yang terjadi balakangan ini sehingga tak satupun terlintas dibanak saya. Tetapi ada satu hal yang menarik menurut saya, suatu kejadian besar yang menurut sebagian kalangan telah melanggar HAM, yaitu kekerasan dalam dunia pendidikan tinggi kita. Sebenarnya saya merasa tidak berkompeten untuk mengurainya, tetapi bagaimanapun juga itulah peristiwa terbesar belakangan ini yang ada benak saya. Pertama kali menyaksikan, terngiang suatu pertanyaan dimanakah jiwa pemberontakan kita. Saya kira semua orang didunia ini punya sis-sisi sepeti itu, Cuma bagaimana saja kita mengelolanya. Orang-orang macam Ra Kuti dizaman Majapahit atau seorang Ahmedinejad untuk masa sekarang bisa tergolongkan orang semacam itu terlepas apapun motifnya atau kondisi sosial masyarakat yang menyelingkupinya. Tentang kekerasan tadi, saya tidak akan berkomentar harus begini atau harus begitu, atau yang ini benar atau yang ini salah, saya hanya akan mengangkat nilai-nilai universalnya saja, yang tentunya saya menyadari itu tidak lepas daripada kesan subyektivitas saya pribadi.Seorang manusia harus manyadarkan dirinya sebagai seorang manusia yang berdasar berdasar nilai-nilai kemanusiaan pula. Pada titik permulaan ini saya kira kita semua telah sepakat mengenai hal ini. Cuma pertanyaan selanjutnya, bagaimana nila-nilai itu diaplikasikan pasti akan sangat beragam tergantung bagaimana kita memahami dan menafsirkannya. Dan pemahaman itupun bukan sesuatu yang berdiri sendiri yang seolah-olah turun dari langit kemudian membentuk karakteristik kita sebagai manusia. Bukan seperti itu tentunya. Ada faktor yang yang lebih besar yang berperan terhadap itu, yaitu kondisi sosio-kultural yang menaungi kebaradaan menusia tadi. Keberadaan sosio-kultural itupun juga bukan sesuatu yang instant, melainkan kristalisasi dari intelektualitas manusia yang terbentuk dari sintesis dari bermacam-macam lingkungan pendukungnya, contohnya kondisi geografis dan politis. Untuk itulah tidak mengherankan apabila seseorang itu menjadi berbudi pekerti yang luhur apabila dibesarkan dan dididik dalam kondisi yang seperti itu pula, tetapi jangan lupa bahwa integrasi nilai dan karakter tadi sangat bersifat dinamis. Bersambung……………………………
on Minggu, 01 Februari 2009
Sejarah, adalah sebuah realita yang tidak bisa terelakkan dari sebuah makna yang dinamakan kehidupan. Dengan segala keharubiruannya, sejarah tetap saja sejarah dan ia adalah bagian dari masa lalu. Dengannya manusia seharusnya bisa belajar bagaimana menghadapi dunianya. Karena bangsa yang besar (katanya) adalah bangsa yang menghargai sejarahnya dan manusia yang arif adalah manusia yang menghargai sejarah dirinya. Bukan saja sekedar sarana refleksi, tetapi lebih dari itu, kitalah yang membuat kegemilangan sejarah kita dimasa depan.

Sejarah manusia seringkali diwarnai dengan penindasan. Tak terkecuali bangsa kita. Bangsa besar yang seharusnya bisa menjadikan dirinya lebih besar dari sekarang. Sebuah bangsa yang tidak tahu mengapa, bisa menjadi terjajah lebih dari tiga abad lamanya. Dimana telah berhasil merasuk ke alam bawah sadar kita sebagai manusia merdeka bahkan sampai saat ini.

Penindasan dengan segala bentuknya pasti sangat menyesakkan. Lihat bagaimana bangsa kita menderita karena penindasan ini. Manusia sebagai subyek dari peradaban seakan-akan tidak lagi dihargai karena adanya penindasan ini. Dan lebih ironis, penindasan terhadap bangsa kita selalu saja dilakukan oleh mereka yang selalu menganggap bahwa dirinya adalah manusia beradab. Paling tidak sampai sejauh ini. Ironisnya kitapun mengembik begitu saja seolah tanpa pernah bersentuhan dengan anak peradaban yang dinamakan pendidikan. Atau ada yang salah dengan pendidikan kita? Yang jelas, kita sebagai manusia seharusnya mencipatakan sejarah kita sendiri, bukan serta-merta oleh dibuatkan oleh mereka. Dengan otak-otak kita sendiri, dengan tangan-tangan kita sendiri dan dengan harga diri kita sendiri, sebagai manusia yang memiliki sebuah peradaban kita sendiri, dan sebagai manusia sebuah bangsa yang besar, bukan sebagai manusia yang diberikan bangsa dan peradaban oleh mereka para penindas.

Penindasan sampai kapanpun akan mencelakakan. Dan lebih mencelakakan lagi tertindas tak pernah tahu behwa mereka ditindas. Penindas kini seolah-oleh sedang bersiap-siap menendang kita dengan salah satu dari kedua kakinya, bahkan sudah berani menyuruh kita menjilat ludah yang telah dimuntahkannya. Dan celakanya sebagian dari kitapun dengan suka hati melakukannya. Dan ironoisnya, sejarah seringkali memihak kepada para penindas. Dan pertanyaan kita, masihkah sejarah menisakan sedikit ruang untuk kebebasan? Seperti yang kita tahu, kebebasan adalah puncak pengharapan dari para tertindas. Sebuah pesimisme yang bias dan bisa membawa kita sedikit berimajinasi tentang bagaimana sebenarnya kebebasan itu. Ada yang bilang kebebasan bagi menusia adalah sebuah keniscayaan. Sebuah anugerah dan hak yang patut kita perjuangkan selayaknya kita berjuang untuk hidup kita. Dan yang pasti, sifat-sifat kemanusiaan kita telah dihargai dengan kebebasan itu.

Ada sebuah korelasi logis antara kebebasan dengan eksistensi kita sebagai seorang manusia. Bahwa dari kebebasanlah manusia sebenarnya mampu mengaktualisasikan dirinya secara mandiri. Tanpa bermaksud sangat mengagungkan kebebasan, tapi hendaklah kita menganggap kebebasan ini sebagai sebuah hak. Sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dpertahankan dan diperjuangkan. Karena dari sinilah kemerdekaan kita sebagai sebuah manusia dapat terakomodasi.

Pentingnya kebebasan ini dimulai dari penyadaran bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang dinamis. Sebuah kondisi yang mengisyaratkan adanya proses “menjadi” selama ia masih menyisakan umurnya didunia. Sadar atau tidak memang demikianlah kenyataannya dan itu adalah sebuah keniscayaan. Untuk selalu dalam proses menjadi inilah manusia memerlukan kebebasan. Proses “menjadi” ini sangat penting dalam kaitannya dengan aktualisasi akan potensi manusia sebagai makhluk Tuham yang paling baik kualitasnya. Apalah artinya kita dianugerahi potensi yang begitu hebat dari Tuhan, tetapi kita tidak mampu mengoptimalkannya. Sungguh sangat disayangkan apabila kita terjebak dalam kondisi yang demikian. Dan secara lugas adalah kesia-siaan dalam hidup!! Potensi adalah untuk dimaksimalkan dan dikembangkan untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dalam konteks ini, kebebasan akan menyadarkan dan memfasilitasi fitrah kita sebagai pemimpin dimuka bumi ini. Atas dasar inilah, segala bentuk penindasan harus dimusnahkan dari bumi kita, bumi manusia..

Kita dianugerahi kaki, untuk berdiri sama tingggi dengan mereka. Kita dianugerahi mata untuk memandang sampai sejauh yang mereka pandang. Kita dianugerahi tangan untuk membalas pukulan yang mereka berikan. Kita dianugerahi otak, untuk berfikir sama baik bahkan lebih baik daripada mereka.