on Kamis, 14 Mei 2009
berkata-kata mereka..
bercanda tawa mereka..
bersuka cita mereka..
disini, di altar suci ini....

bersedih hati mereka..
menangis pilu mereka..
merenung murung mereka..
disini, di altar suci ini....

satu..dua..tiga dan semuany bersorak.
memadu kasih atas nama cinta.
lebih dari pemujaan,lebih dari pengharapan.
kuil suci ini telah berubah menjadi pasar kenikmatan....

altar suci dlm kuil suci ini tetap diam.
siapapun yg datang ia diam.
apapun yg mereka lakukan ia tetap diam.
diam..diam..diam..dan ia tetap diam.
kuil suci ini ternyata berdiri tanpa pemuka, tanpa resi, dan tanpa penjaga....

kuil suci ini kini roboh dan tiada lagi berdiri.
mereka pun kebingungan.
mereka pun kehilangan.
mereka kemudian mengais-ais reruntuhan,semoga masih ada yg trsisa utk didirikan kemudian.
lagi,mereka mendirikan kuil suci ini; tanpa resi, tanpa pemuka, dan tanpa penjaga....

kuil suci ini kemudian menangis dan mengadu atas keadaannya kepada altarnya yang selalu kokoh berdiri.
altar diam, dan diam, karena sudah seharusnya ia diam.
memaksa dan ia tetap diam....

tak lama mereka berbondong-bondong datang kembali membawa obor ditangan kanan dan kirinya.
bakar dan membakar, mereka membakar kuil suci ini yang kemarin mereka dirikan.
"Hanguslah, aku tidak membutuhkan kamu lagi.." kata salahsatu dari mereka.
kuil suci ini hangus,roboh dan hancur dengan altarnya yg tetap diam dan berdiri....
Hingga pada akhirnya mereka serentak bertanya,apakah hanya ada altar dalam kuil suci ini?

Sejak SD sampai SMA hampir tiap senin kita mengikuti upacara. Sebagai umat beragamapun,sering kita mengikuti upacara-upacara keagamaan kita. Lantas ada apakah dengan upacara2 ini?

Setiap individu hampir pasti memiliki atribut-atribut yang melekat pada dirinya sbg hasil maupun konsekuensi dari sosialiasasinya dengan bemacam dogma&pemikiran,maupun sebagai sarana komunikasi dengan posisinya sebagai manusia yang berkebutuhan. Hingga bisa dikatakan kalau hal-hal yang menyebabkan adanya atribut itu hilang,hilang pula konsekuensi dari adanya atribut tersebut. Dengan kata lain, suatu hal akan hilang apabila variabel-variabel yang menyebabkan hal itu ada hilang juga. Lantas,bagaimana kalau seandainya itu terjadi pada diri manusia? Manusia pada titik nol, mungkin bisa dikatakan demikian. Manusia tanpa nilai,dan manusia yang benar2 berkuasa pada dirinya,mungkin..Bukan semacam pemberontakan,tapi upacara telah menjadi semacam penyimbolan kita. Bahkan keseharian telah menjadi semacam upacara. Suatu mental perbondongan mungkin saja,dan bisa menenggelamkan manusia pada ketidaksadaran massal. Hingga akhirnya kita sampai pada suatu titik,apakah harus kita ciptakan ruang kita sendiri sebagai sarana bereksistensi? Ada suatu pemecahan menarik dr heidegger. Bukan menarik diri dari keseharian,tetapi tidak pula hanyut dalam keseharian.

Dengan menarik diri dari keseharian, dalam satu titik memang kita bisa mengerti makna ada ny kita. Tapi yang demikian adalah pengecut, karena ide dan gagasan butuh realisasi. Dan pemaknaan dan memberikan sentuhan rasional thd keseharian lah yang menjadi kunci. Hingga saat keseharian telah menjadi semacam upacara, kita tetap mampu untuk tidak tercerabut dari kealamiahan kita. Dimana kecemasan menjadi pintu masuk bagi tersingkapnya ke"ada"an kita. Kecemasan memberi ruang perenungan sekaligus memberikan kesadaran akan keterlemparan kita di dunia ini...
Kesempatan, itulah mungkin kunci bagi ketersingkapan pilihan. Membaca kesempatan, berarti ada peluang mendapatkn pilihan. Mendapatkan pilihan berarti potensi untuk suatu tindakan. Dan tindakan adalah jalan bagi pengabdian. Tapi sesederhana itukah??
Setidaknya tidak ada pilihan dari kita untuk minta dilahirkan sebagai jawa,sunda,batak,dsb.Tiada pula pilihan bagi kita untuk dilahirkan di keluarga islam,kristen,hindu,budha,atheis,dsb. Tidak pula pilihan dilahirkan sebagai anak presiden, pengusaha, pejabat, pemulung, pengemis, dsb.

Dan disuatu hari didalam bis,dalam sebuah prjalanan, naik seorang wanita paruh baya lusuh khas kaum2 marjinal&trpinggirkan dgn anak balita dan seorang anak wanita, yg barangkali adalah anaknya. Balita itu menggendong boneka "maskot galileo" yg jg lusuh. Mungkin ibu nya brharap besar pada anakny,kelak akan hebat spt galileo. Atau setidaknya brpendidikan tinggi sperti penyimbolan dlm bonekanya itu. Tp apakah mereka punya pilihan, ditengah kampanye pndidikan gratis,murah dan brkualitas msih menjadi wacana?

Sesaat dua pengamen datang, pergi, datang yang lain, pergi, dan tetap datang yg laen lgi dan pergi. Ibu itu tanpa segan memilih untuk memberi mereka semua uang yg mungkin ckup brarti baginya. Ibu itu bisa memilih utk memberi karena memiliki uang (kdermawanan dr kaum marjinal yg mengharukan), tp apakah pengamen punya pilihan utk tidak mengamen jika itu adalah sesuatu yg plg menjanjikan baginy? Ada juga Adam yg memilih makan buah khuldi,hingga menyebabkan ia "terlempar" kedunia yg fana ini, yg barangkali bukan pilihannya..

Setiap orang pasti memiliki pilihan dan pada akhirny memilih. Tapi apakah pilihan itu sekehendak dgn hatinya,belum tentu. Apakah pilihan itu identik dgn duit seperti korban rob yg seringkali rumahnya terendam rob,sedangkan ia tidak bisa berbuat apa2 untuk memilih "membeli kenyamanan" hanya karena ia tidak berduit?? Ataukah identik dgn intektualitas seperti seorang dosen yg memilih mengajar matkul A drpd matkul B, padahal ia matang dikeduanya?? Mungkin hanya diri kita yang tahu..Atau jangan-jangan ungkapan "hidup adalah pilihan" hanya sesuai bagi mereka2 yg diuntungkan oleh nasib??
on Sabtu, 02 Mei 2009
Manusia adalah makhluk sosial ciptaan Tuhan yang paling sempurna dengan kualitas intelektual yang dimilikinya. Atas dasar inilah, sosialisasi menjadi kebutuhan sekaligus merupakan konsekuansi alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia. Artinya, dalam suatu kondisi normal tanpa suatu distorsi yang berarti, manusia akan selalu bersosialisasi apapun dan bagaimanapun keadaan yang menyertainya. Untuk itulah dikenal suatu komunitas manusia yang dinamakan masyarakat. Atas dasar kualitas intelektual yang dimiliki oleh manusia ini pulalah, sudah sepantasnya manusia membangun suatu model masyarakat yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling berkualitas secara intelektual dan paling tinggi derajadnya. Dan konsep masyarakat madani adalah jawabannya.

Masyarakat madani secara sederhana bisa dipahami sebagai masyarakat berperadaban dan berbudaya. Dari pengertian ini, masyarakat Yunani kuno bisa dianggap telah mencapai suatu kondisi masyarakat madani, karena seperti yang kita tahu, pada saat itu, bangsa Yunani telah mencapai suatu tingkat peradaban yang sangat tinggi untuk zamannya, dimana instrumenn-instrumen sosialnya mampu berfungsi dengan baik, dan mampu melahirkan manusia-manusia berkualitas macam Socrates, Plato, Aristoteles. Tapi bagaimanakah masyarakat madani itu dalam konteks keislaman? Karena seperi yang kita tahu, terminologi ini dikenal luas sebagai suatu konsep masyarakat yang berasal dari dunia Islam. Masyarakat madani dalam konteks Islam bisa dipahami sebagai masyarakat berperadaban dan berbudaya yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam setiap lini kehidupannya. Manusia sebagai entitas terkecil dari suatu masyarakat dituntut tidak hanya harus bisa membangun hubungan baik dengan Tuhannya, melainkan juga harus mampu membina hubungan baik dengan sesama manusia dan dengan alamnya. dari sinilah peran hukum Islam sangat penting sebagai penuntun untuk tercapainya suatu kondisi ideal kemasyarakatan dalam bingkai masyarakat madani.

Nilai-nilai keislaman yang dimanifestasikan dalam hukum islam inilah yang selanjutnya harus kita jaga dan kita amalkan secara konsisten. Sehingga muncul wacana formalisasi hukum Islam. Meskipun kemudian muncul suatu polemik mengenai hukum Islam dari mahzab mana yang harus kita pakai, tetapi ada satu hal yang harus digaris bawahi bahwa penerapan hukum Islam hendaknya membawa suatu kemaslahatan bersama, tidak hanya bagi umat Islam sacara internal tapi juga kepada masyarakat umum. Karena seperti yang kita tahu, dalam piagam madinah yang merupakan dasar-dasar masyarakat islam madani, diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban.

Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang lebih penting dilakukan yaitu bagaimana agar nilai-nilai keislaman itu bisa membumi, yang dapat senantiasa mewarnai setiap aktivitas manusia sebagai anggota komunitas sosialnya. Untuk itulah peran pemberdayaan manusia secara individual menjadi sangat penting disini. Bagaimana agar setiap manusia memiliki suatu kualitas yang tinggi, tidak hanya dalam intelektualnya, tetapi juga secara emosional maupun spiritual. Ketiga hal ini sangat berkaitan erat dengan pendidikan, dimana menurut hemat saya belum mendapatkan cukup perhatian di negara kita meskipun ada peningkatan kearah sana, tetapi masih terkesan setengah hati dan cenderung tidak konsisten. Atau dengan kata lain, pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan terwujudnya suatu masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban.

Intelektual, menurut Prof. Komaruddin Hidayat bisa diartikan sebagai sifat yang berkaitan dengan wawasan, pengetahuan dan kepedulian tentang masalah-masalah umum (sosial, budaya, politik agama, dan sebagainya, nasional maupun internasional). Ada poin penting yang bisa kita garis bawahi disini, yaitu seorang intelektual tidak hanya berwawasan atau berpengetahuan, tetapi juga harus peduli. Untuk itulah tidak heran, apabila ada yang mengatakan bahwa semangat intelektual adalah pengabdian. Juga dari seorang Aristoteles yang pernah mengatakan bahwa tentu saja juga tidak masuk akal jika membayangkan seseorang menerima banyak berkah tapi menyendiri, sebab tidak ada seorangpun yang ingin memiliki segala yang baik namun tetap menyendiri, sebab manusia adalah makhluk politik, yang sifatnya cenderung hidup bersama orang-orang lain.

Sejalan dengan yang diutarakan pada awal tulisan ini bahwa manusia adalah makhluk sosial ciptaan Tuhan yang paling sempurna derajadnya dengan kualitas intelektual yang dimilikinya, maka pada dasarnya intelektual dan kodrat manusia sebagai makhluk sosial itu sangat berkaitan erat. Dan diinilah, menurut hemat saya, menjadi dasar bagi terbentuknya masyarakat madani. Sosialisme masyarakat ini harus senantiasa mewarnai dalam setiap sendi-sendi kehidupan tidak bisa tidak. Dan pada akhirnya masyarakat madani tidak akan pernah bisa terbentuk atas dasar eksklusivisme dalam bagaimanapun bentuknya. Bahkan ekslkusivisme yang mengatasnamakan agama sekalipun. Karena seperti yang telah kita saksikan, tidak jarang eksklusivisme menimbulkan fanatik buta yang tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan horizontal dalam masyarakat.

Selanjutnya yang menjadi perhatian adalah bagaimana eksklusivisme ini dapat dikikis, sehingga timbul suatu kondisi masyarakat harmonis, saling menghargai dan menghormati, yang dapat menjadi rumah bagi semua suku,agama, ras dan golongan. Sebagian kalangan menjawab dengan demokrasi. Semahal apapun demokrasi, dan bagaimanapun rupa dan bentuknya dalam aplikasi di berbagai macam kondisi sosial-ekonomi yang berbeda, demokrasi telah secara nyata menjadi suatu sistem kemasyarakatan-kenegaraan yang paling banyak dianut oleh negara-negara dimuka bumi ini, sekaligus didambakan oleh banyak manusia yang hidup dibawah kekangan penguasa otoriter, yang notabene menjadi antitesis dari demokrasi itu sendiri. Bagaimana pertempuran besar ini berjalan dan akan berakhir, saya kira banyak dari kita punya opini dan penilaian yang berbeda…

Salam..

-->
Dunia seakan sudah semakin permisif. Mengobrak-obrik kebebasan atas nama “kebebasan” demi hal-hal kasat mata. Lihatlah bagaimana orang-orang lebih bangga dengan perbondongannya yang tak tahu malu dan tanpa otak lebih daripada sekedar merenungi betapa banyak nyawa-nyawa yang terhempaskan atas nama ketidakadilan, dan menjadi semakin ironis karena justru dari sini eksploitasi atas keterasingan semakin brutal dan menjadi-jadi. Dan bisa kita lihat, sebiji sabun mandi ternyata lebih berkuasa dari diri kita.Busuk!!

Salah satu dampak yang tidak terelakkan adalah hegemoni atas makna yang semakin menguat, seakan-akan tiada lagi menyisakan sedikit ruang untuk bernafas dan berekspresi bagi jiwa dan intelektualitas kita. Penyetiran atas makna dengan segala alat-alatnya seolah menguatkan tuduhan bahwa manusia sebagai makhluk paling berakal dibumi ini tak mempu lagi memenuhi hasratnya untuk merdeka. Atau jangan-jangan hegemoni itu telah sampai pada suatu titik yang mempengaruhi sedemikian rupa sehingga mentalitas manusia yang sejak penciptaannya menjadi kebanggaan itu menjadi hilang, diganti dengan “mentalitas-mentalitas” yang entah darimana ia berasal. Menurut sebagian kalangan modernisasi adalah kambinghitam dari segala permasalahan ini. Perbondongan dan keseragaman sebagai hasil dari buah pikir dan khotbah media. Tidak sepenuhnya salah tapi ada hal-hal yang harus digaris bawahi bahwa kita berada pada dunia penuh kerelatifan. Kerelatifan sebagai bawaan dari adanya dunia ini.

Dan budaya massa pun tak bisa lepas dari kerelatifan ini. Nilai nilai senatiasa berubah menurut kehendak tangan-tangan yang bisa saja tidak kita pahami. Tapi ia berubah dan senantiasa berubah dengan penuh kesadaran. Omongkosong kalau ia dinamis bergerak kearah yang tidak bisa sadari. Ada semacam kesadaran besar dengan penuh arti yang menggiring perbondongan dan keseragaman ini. Meskipun tak juga kita bisa menuduh pergerakan ini adalah hasil rekayasa yang disengaja, tapi kesadaran akan pergerakan nilai-nilai ini lah yang patut lawan dengan kesadaran kita juga sebagai makhluk merdeka.

Ada beberapa hal yang mengakibatkan munculnya kesadaran ini. Dan ini bukan hanya berurusan pada modal dan pemilk modal, meskipun hal ini juga memberikan kontribusi yang sangat besar. Dan pada tahap ini bisa kita lihat modal telah menjelma menjadi sebuah kekuatan penuh kuasa yang bisa mengobrak-abrik tatanan yang pada dasarnya telah dianggap mapan. Pemilik modal bisa menggiring perbondongan-perbondongan ini menjadi apa yang ia kehendaki. Dan disinilah potensi manusia sebagai makhluk pemangsa mendapatkan relevansinya. Dan menjadi semakin berbahaya karena tidak hanya menyerang pada hal-hal yang secara fisik dapat kita rasakan, tetapi telah merasuk pada tatanan yang cukup abstrak; intelektual hingga mentalitas hingga dapat mengaburkan kesadaran kita sebagai makhluk yang merdeka.

Lantas bagaimana kita menyikapinya? Kesadaran, sekali lagi dengan kesadaran. Kesadaran harus kita tumbuhkan dan kita harus mampu melawan “kesadaran” mereka. Bukan hanya penguasa-penguasa tiran yang harus dan patut kita robohkan, lebih dari itu, penguasa-penguasa makna harus mampu kita lenyapkan. Dan perjuangan kaum revolusioner, reformis, dan pembaharuan sekarang harus mampu menyentuh pada tahap ini. Kapitalisme hedon memang telah cukup kuat dan lama berkuasa. Dan ia telah menjadi lebih kuat dari orde baru sekalipun, karena ia pula yang menjiwai orde baru. 

Dan apa yang bisa kita lakukan? Tak ada jalan lain kecuali melawan. Sadar bahwa kita tertindas, sadar bahwa mereka harus lenyapkan, dan tradisi intelektual harus ditumbuhkan…Merdeka!!!