Menjadi

on Selasa, 24 Januari 2012
Anak ayam suatu ketika akan besar dan menjadi pejantan yang siap diadu atau betina yang siap dibuahi untuk bertelur dan bertelur. Begitu juga si jantan anak harimau, suatu ketika akan tumbuh menjadi harimau dewasa dengan taring runcingnya yang bersiap menerkam rusa dikala lapar. Bayi mungil itu suatu saat juga akan menjadi pria dewasa, yang tentu saja akan banyak tanggungjawab yang akan diembannya. Menjadi berani, menjadi pecundang, menjadi kaya, menjadi miskin ada yang bilang kita bisa menentukan, bisa memilih dan tentu saja, harus bersiap, bisa untuk puas atau kecewa.

Menjadi tentu saja terikat oleh waktu. Menjadi itu disuatu waktu untuk kemudian menjadi sesuatu yang lain dimasa yang lain pula. Waktu ibarat menjadi saksi akan kemenjadian sesuatu, meskipun tak ada yang benar-benar bisa memastikan apakah waktu diluar dari kemenjadian, yang mengamati proses tanpa suatu ekspresipun atau justru ia adalah bagian dari kemenjadian itu dan oleh karenanya ia adalah menjadi itu sendiri.

Menjadi adalah simbol dan bukti nyata dari perubahan. Dengan menjadi, perubahan bisa “dirasakan”. Sebuah perubahan yang disadari tentu saja akan menghasilkan menjadi yang berbeda dengan perubahan tanpa kesadaran. Tidak bisa dipungkiri terkadang memang dibutuhkan semacam katalisator. Pada tahap ini, kesadaran akan kehadiran katalisator menjadi penting agar tidak terjebak pada semacam penggiringan. Semisal anak harimau yang, tentu saja tidak sadar akan perubahan yang menimpa dirinya, karena memang ia diciptakan demikian; kemenjadian seorang manusia tentu saja berbeda. Jikalau hewan dan makhluk-makhluk “tanpa” rasio hanya sebagai objek dari sebuah “hukum” kemenjadian yang digerakkan misalnya oleh alam, manusia dengan kesadarannya bisa menjadi objek sekaligus menjadi subyek dari proses menjadinya.

Bukan suatu yang mudah untuk membangkitkan kesadaran, karena itu kompleks. Tiap manusia terutama yang bersosialisasi tentu saja memiliki sebuah sikap mental yang khas, yang dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tumbuh dan dibesarkan. Belum lagi dengan karakteristik manusia, entah intelektual maupun emosional, yang mempunyai kekhasan antara satu manusia dengan yang lain, juga membuat proses menyadaran menjadi kompleks. Tentu saja juga tidak bisa menyadarkan satu orang perorang. Oleh karenanya kesadaran harus dibangkitkan secara massal.

Dan menjadi sekali lagi sangat ber-waktu. Sadar diperlukan agar tidak tergilas waktu, karena sadar berarti menaklukkan waktu, entah itu waktu yang lampau atau waktu sekarang berproses. Manusia yang dipercaya sebagai makhluk sempurna, tentu saja harus membuktikan kesempurnaan itu. Kesempurnaan disini adalah kesempurnaan dalam konteks kefanaan, karena manusia hidup didunia, dan oleh karenanya ia sangat terikat oleh waktu. Terikat oleh waktu berarti ia menjadi. Maka kesempurnaan bukan berarti stagnasi. Kesempurnaan adalah proses menjadi, dengan kata lain kemenjadian adalah bukti kesempurnaan manusia. Tanpa menjadi, jargon manusia makhluk sempurna adalah slogan kosong, sebuah “pujian” yang tak pantas diberikan.

0 komentar:

Posting Komentar