Sakit

on Selasa, 25 Februari 2014
Sakit, jika kita merujuk definisi sederhana adalah keadaan tidak nyaman ditubuh, yang kemudian meluas definisinya, diantaranya sakit jiwa untuk tidak “nyaman’ dijiwa dan sakit hati untuk ketidaknyamanan di hati. Sakit adalah suatu keadaan. Sebagaimana lazim dalam ke”ada”an, ia ada karena sesuatu. Seperti sakit flu, yang ia ada karena sebab misalnya berhari-hari kehujanan saat pulang kerja.

Sebagaimana lazim pada suatu kondisi tidak nyaman, sakit biasanya dihindari dan kalau perlu dicegah. Segala hal-hal penyebab yang menjadikan ia ada dijauhi. Bahkan seringkali melakukan langkah ekstra agar sakit tak hinggap menyerang, seperti minum multivitamin, suplemen dan yang serupa dengannya.

Satu hal yang biasanya dianggap hikmah saat sakit menyerang adalah betapa berharganya kesehatan. Sesuatu yang tak jarang kita sepelekannya karena seringnya ia “hadir” pada kita. Intensitas kehadirannya seringkali melenakan, sehingga seringkali kita tak menyadari bahwa ia ada dan ia lah salah satu yang menyangga aktivitas dan realitas kita. Oleh karenanya penyadaran atas realitas ini penting agar kita menjadi manusia yang tahu arti kata terima kasih dan menghargai setiap kehadiran kesehatan. Kesehatan ini, pada saat sakit menjadi semacam kenangan. Semakin kuat kenangan ini tertanam, maka saat sakit biasanya juga akan semakin kuat pula keinginan untuk sembuh meski bisa pula sebaliknya akan semakin terpuruk ia ketika rasa sakit itu hinggap. Intinya, kenangan yang kuat tersebut akan membuat si penderita sakit berada pada dua titik ekstrim.

Sakit juga berarti bahwa manusia memang bukan makhluk kuat sepenuhnya. Ia hanya bisa merekayasa keadaan berupa penghindaran atau pencegahan dengan akal dan budinya. Manusia adalah makhuk lemah tentu saja dan sakit bermanfaat untuk menyadarkan kelemahan kita tersebut, sehingga saat ia datang keterlibatan kita dalam “menyambutnya”menjadi penting ia bukan hanya muncul dalam konsep dan kata tetapi juga makna. Seperti kondisi sakit dalam berbagai keadaan susah senang akan berbeda dengan makna tersebut. Inilah yang oleh sebagian orang menyatakan bahwa manusia memang membutuhkan sakit agar ia menjadi semakin kuat setelah sakit hilang.

Tak berbeda dengan rasa sakit yang lain, seperti sakit hati. Hati yang mudah berbolak-balik arah ini seolah menjadi misteri tersendiri dan oleh karenanya juga rentan terserang rasa sakit. Dan celakanya, dalam sakit hati, kegiatan penghindaran dan pencegahan seringkali diabaikan. Hal ini karena euforia kesehatan yang sering hinggap dalam bentuk dimabuk rasa dan keegoisan diri. Sakit hati yang semacam ini bisa jadi oleh sebab luar atau sebab dalam diri kita. Oleh sebab luar inilah yang seringkali tidak bisa kita bendung dan datangnya bisa jadi tiba-tiba. Ia biasanya terjadi karena sebab hubungan interpersonal yang kita jalani. Kita bisa maklum atau kalau perlu melawan. Sakit hati yang berasal dari dalam diri adalah sakit hati karena sebab kita melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan sakit hati itu muncul. Ia bisa berupa keegoisan diri. Sakit disini bermanfaat untuk menyadarkan bahwa ia sesungguhnya makhluk yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia bisa jadi berasal dari perlawanan orang lain atau muncul dari dalam dirinya sendiri sebagai hasil, misalnya perenungan akan keberadaannya.

Keegoisan diri membuat pintu kemungkinan-kemungkinan terburuk menjadi seolah tertutup dan tidak disadari, padahal ia ada yang siap meledak saatnya tiba. Egois berarti menjadikan dirinya sebagai pusat sehingga cenderung abai pada kelemahan-kelemahan yang pada saat ia sedang berposisi tinggi ia, kelemahan-kelemahan ini menjadi minoritas yang suaranya jarang didengarkan. Itulah mengapa, si egois sedang berusaha membuat bangunan besar yang rapuh pondasinya. Dan saat ia tak juga menyadarinya, celakalah ia.

Pada saat sakit semacam ini menyerang obat terbaik adalah meruntuhkan keegoisan diri, dengan kata sakti “maaf”. Syukur jika masih ada waktu. Jika tidak, maka tak ada jalan lain selain mengakrabi rasa sakit itu. Pada awalnya memang menyakitkan, karena muncul suatu keadaan yang memang sangat susah hilang, yaitu penyesalan. Tetapi jika kita perhatikan lebih mendalam, sesungguhnya inilah indahnya manusia, yang kata orang dengan rasa sakit ini kehidupan menjadi lebih berwarna. Dan seperti yang dijelaskan diatas, jika terdapat kenangan yang kuat saat indahnya dimasa sehat, maka keterpurukan menjadi dua titik yang ekstrim dan bisa menjadikan si sakit menjadi terpuruk kondisinya.

Pada akhirnya tak ada jalan lain memang selain menghadapi sakit dengan rasa bangga. Dengan dengan pemaknaan, maka dengan sakit ini akan menguatkan kita. Seperti petinju yang memerlukan dipukul agar ia tahu kelemahan dirinya, sakit apapun itu hendaknya dipahami sebagai sarana menaikkan kualitas kemanusiaan kita. Apalagi jika ini mengenai hati, yang dengannya kualitas kebaikan kita dimanifestasikan. Menjadikan hati “berdialektika” bermanfaat untuk menjadikannya lebih tajam dalam menghadapi realitas yang membutuhkan rasa dalam keterlibatan diri kedalamnya...

0 komentar:

Posting Komentar