Menakar Eksistensi Kita

on Jumat, 06 Februari 2009
Pertanyaan yang sering muncul dari setiap sudut otak menusia salah satunya adalah mengenai problem eksistensi. Seberapa sadarkah kita mengetahui tentang eksistensi kita sendiri? Seberapa dalamkah kita faham tentang makna keterjadian kita?

Bermacam pemikiran tentang hal ini telah diutarakan. Dan kesimpulan yang didapat tetap saja normatif dan cenderung kasusistis, karena jawaban hasil dari kontemplasinya cenderung tersegmentasi dan sangat jauh dari kesan menyeluruh. Hal ini bisa kita maklumi, dan sejauh ini harus berjalan demikian, karena suatu perenungan ada karena ada kondisi eksternal kejiwaan maupun sosio-kultural yang menyertainya. Sebagai misal, tak mungkin ada suatu teori nilai lebih apabila Karl Marx hidup dalam suatu masyarakat buruh yang makmur dan diperlakukan adil (adil menurut Karl Marx tentunya). Oleh sebab itulah hasil perenungan ini cenderung bersifat subyektif. Seperti yang diutarakan Jespers bahwa sebagai subyek kita berbeda-beda, maka dalam pengamatan kita terhadap dunia kita masing-masing akan berbeda-beda pula.

Melalui proses perenungan yang bermuara pada kesubyektifan manusia inilah eksistensi manusia dapat teraktualisasi. Manusia sebagai kenyataan subyektif ini berkaitan erat dengan titik tolak bahwa manusia adalah sumber dari segala pengamatan. Seperti yang diutarakan oleh Soren Kierkegaard, bahwa yang konkret dan yang nyata adalah apa yang individual dan subyektif, bukan apa yang dipukul rata dan obyektif. Dan sekali lagi, rumusan diatas muncul atas suatu pemikiran yang berkembang pada saat itu, bahwa sesuatu yang dinyatakan sebagai kebenaran, harus dapat dinyatakan sebagai suatu pemikiran yang pasti. Disamping itu, sesuatu pemikiran tentang kenyataan haruslah dinyatakan dalam rumus-rumus yang berlaku umum. Apa yang universal itulah yang mendapat tempat, bukan yang partikular. Disinilah obyektifitas mendapat tempat yang cukup nyaman.

Menurut uraian diatas, tidak memilihpun sudah merupakan suatu pilihan, sejauh tidak memilih itu ada argumentasi yang baik ataupun yang buruk menurut dirinya. Dia yang tidak memilih itupun tidak bisa dikatakan sedang mengalami kebingungan pada pailihan-pilihan yang ada dihadapannya, karena dengan berasumsi ia menggunakan logikanya secara rasional, maka tidak memilih tadi akan menjadi bermakna dalam artian ia telah mengalami aktualisasi dalam kaitannya dengan pilihan yang telah ia buat untuk tidak memilih.

Sebagai konsekuensi dari aktualisasi eksistensi manusia ini, interaksi manusia dengan lingkungan sosialnya dengan segala bentuknya menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat terelakkan lagi. Pemahaman akan peran sosial manusia menjadi sangat penting disini. Dalam agamapun sudah dijelaskan bahwa kedudukan manusia dibumi ini adalah sebagai pemimpin. Sebagai seorang pemimpin, maka kita dituntut agar menjadikan diri kita menjadi seorang pribadi yagn berkualitas, tidak hanya individual, tetapi juga sosial maupun kultural. Seorang yang berkualitas secara individual adalah manusia yang berilmu, yang dengan ilmu yang dimilikinya dia mampu menyerap, memproses, dan menciptakan ide secara baik dan berkualitas. Pada tahap ini ide dan ilmu baru sebatas memenuhi dahaga intelektual manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling berakal. Kualitas sosial adalah manusia yang mampu bermanfaat bagi masyarakat. Unsur terpentingnya adalah pengabdian. Manusia tidak hanya mempu mendialektikakan ide dalam dirinya sendiri, tetapi lebih dari itu harus mampu mengaktualisasikan dan mangimplementasikan dalam masyarakat. Kualitas kultural adalah kualitas manusia dimana ide-ide dan pemikiran manusia itu sudah mampu merubah kultur dan cara pandang masyarakat. Adam Smith, Karl Marx, adalah cantoh nyata manusia yang sudah mampu mencapai kualitas ini.

Masih berkaitan dengan eksistensi diatas, ada suatu kondisi menarik apabila kita dihadapkan pada suatu pertanyaan “siapakah aku?”. Pertanyaan yang terilihat cukup sederhana, tetapi sesungguhnya membutuhkan suatu pemaknaan yang dalam. Bisa saja dijawab aku adalah Abdul misalnya, karena namaku adalah Abdul. Tetapi apakah demikian halnya apabila namaku tidak lagi Abdul, atau bahkan aku tidak punya nama. Jawaban Abdul tentu saja sudah tidak relevan lagi atau dengan kata lain, Abdul itu sudah menjadi tidak bermakna. Pemaknaan terhadap eksistensi Abdul bisa diangggap telah gagal, karena Abdul kini sudah tidak bermakna lagi. Artinya tidak ada rasionalitas dalam mengeksiskan orang tadi menjadi Abdul hanya karena namanya Abdul. Dalam konteks inilah perlunya aksi dan tindakan nyata kita dalam kaitannya dengan aktualisasi diri kita sebagai makhluk Tuhan paling berakal.

Pemaknaan seharusnya tidak hanya melalui perenungan sesaat saja. Contoh sedarhananya, kita pasti punya atau setidaknya pernah punya suatu barang dalam kamar kita yang karena tidak berarti menurut kita jarang sekali kita memperhatikannya. Secara harfiah barang itu ada tapi apakah barang itu benar-benar ada masih perlu dipertanyakan. Dalalm artian apakan ia benar-benar ada dalam subyeknya sebagai benda tadi mesih perlu dipertanyakan. Begitu halnya dengan kita. Dalam suatu komunitas masyarakat selama kita masih hidup, secara harfiah pasti tidak ada yang menyangkal bahwa kita ada. Tetapi apakah kita akan benar-benar ada masih perlu dipertanyakan tergantung apa yang telah, sedang dan akan kita perbuat untuk masyarakat. Pada intinya eksistensi tidak hanya butuh suatu kontemplasi, tetapi lebih dari itu, yaitu suatu aksi. Dan ini menurut hemat saya menjadi sangat penting ditengah keseragaman yang melanda llingkungan kita dewasa ini.

Meskipun demikian, eksistensi ini bukanlah suatu tujuan akhir yang semata-mata hendak kita capai didunia ini. Dalam agama telah dijelaskan, Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu. Dan inilah hakekat tujuan utama kita hidup didunia. Beribadah itu sendiripun mencakup suatu pengertian yang sangat luas salah satunya mencakup hubungan sosial kita kepada masyarakat. Pada konteks inilah, penyadaran terhadap apa yang telah dan akan kita perbuat untuk masyarakat menjadi sangat penting.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

manusia oh manusia..

Anonim mengatakan...

kebo said: blogmu berat...marai ngantuk mocone!!!!!!!!!!!!!!!! go to hell.
nulis ki sing enteng2 wae ngge.marai mumet sing moco.

muam_disini mengatakan...

sepertinya repost bos..

dah pernah kau terbitkan sebelumnya ya???

Posting Komentar