Bersandiwara dengan Perubahan

on Jumat, 06 Februari 2009
Sering bagi kita menyimak berbagai hal tentang perubahan. Entah dalam lingkup pemerintahan negara maupun dalam hubungan antar personal kita sebagai entitas terkecil dalam masyarakat. Banyak orang berteriak-teriak tentang perubahan, entah menuntut diadakannya perubahan atau berjanji-janji manis akan melakukan perubahan. Entah mereka sadar atau tidak, paham atau tidak, yang jelas perubahan seakan sudah menjadi semacam komoditas, yang bisa dan siap dieksploitasi untuk kepentingan sesaat. Bahkan mungkin karena seringnya kita mendengar atau melihatnya dibicarakan orang, kata ”perubahan” itu sendiri seakan-akan menjadi tidak bermakna. Meskipun ada sebuah ungkapan bahwa yang abadi didunia ini hanya perubahan, tetapi apabila pemaknaan tentang perubahan tadi menjadi kosong bisa dibayangkan betapa tidak berartinya dunia kita, dan bisa dikatakan disini kita memasuki wilayah yang berbahaya karena terjebak oleh suatu penyakit yang disebut dengan stagnasi. Meskipun ada jargon-jargon tentang perubahan, hal itu tak lain adalah jargon kosong tanpa suatu substansi dan cenderung tidak konkret.

Suatu perubahan biasanya diawali dengan refleksi atas suatu realita sosial yang berkembang. Sehingga kunci dari perubahan itu sendiri adalah kemampuan kita merefleksikan realitas sosial itu secara proporsional, objektif dan kritis. Refleksi disini adalah proses analitis, dan outputnya adalah ide. Kita tidak sedang memerankan suatu lakon dalam sebuah sandiwara disini, dimana perubahan sebelumya telah diskenario sedemikian rupa, sehingga apa yang terjadi seperti apa yang diharapkan atau tidak meleset jauh dari apa yang dibayangkan. Disini ”perubahan” seakan-akan tampak benar-benar sebagai perubahan padahal tidak sama sekali.

Perubahan atas realitas sosial disini adalah sebuah proses yang ”alami”, dimana hubungan antar satu hal dengan hal lain dalan suatu komunitas sosio-kultural adalah saling kait-mengkait dan mempengaruhi. Proses refleksi itu sendiri bisa berjalan efektif apabila ada sebuah resistensi terhadap suatu kemapanan pemikiran yang dominan. Pada tahap inilah metode Hegel tesis-antitesis-sintesis bisa diaplikasikan. Sintesis dalam hal ini adalah sebuah hasil dari aspirasi tentang perubahan sebagai akibat hantaman antitesis tarhadap kemapanan pemikiran yang dominan dan berkembang (tesis). Selanjutnya sintesis inipun kemudian akan menjadi sebuah tesis yang baru yang siap untuk dikritisi oleh antitesis yang baru pula, begitu seterusnya. Mirip seperti yang dikatakan oleh Baruch Spinoza (1632-1677) bahwa dalam pikiran tidak ada kehendak mutlak atau bebas; namun pikiran diharuskan untuk menghendaki ini atau itu oleh suatu penyebab yang juga ditentukan oleh penyebab yang lain, dan penyebab yang lain itu juga ditentukan oleh penyabab yang lainnya lagi, dan seterusnya tiada terhingga. Untuk itulah mengapa proses dialogis terhadap kemapanan pemikiran yang dominan perlu dilakukan untuk dapat mengakomodir realitas sosial yang berkembang dan sebagai jalan menuju dinamisasi sosial.

Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu kita tegaskan dahulu, bagaimana kita mendefinisikan perubahan itu sendiri? Perubahan yang dipahami hanya sebagai asal berubah tanpa memandang substansi yang mengiringinya akan menjadi kontradiktif dan cenderung kontraproduktif. Perubahan hendaknya dipahami sebagai proses transformasi ide dan pemikiran kita yang kemudian dimanifestasikan dalam sebuah tindakan nyata. Tidak hanya berwacana, tetapi bagaimana ide itu bisa diimplementasikan ke dalam tindakan yang sebenarnya. Semakin rasional dan aplikatif ide itu maka semakin mampu menjawab kondisi realitas sosial yang berkembang, sehingga akan lebih bisa diterima masyarakat dan pada akhirnya mempengaruhi ide-ide personal sebagai bagian terkecil dari masyarakat itu sendiri. Dan akhirnya akan mendorong tumbuh kembangnya ide. Karena permulaan perubahan adalah ide, maka instrumen-instrumen sosial yang ada dalam masyarakat harus bisa menjamin dan mendukung tumbuh dan berkembangnya ide-ide tersebut, bila tak mau perubahan dilakukan secara radikal seperti saat peristiwa 98. Karena perubahan adalah suatu peristiwa alamiah, maka apabila suatu kondisi sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman, sekuat apapun distorsinya, cepat atau lambat perubahan pasti akan terjadi. Mengutip Angelus Silesius (1624-1677) bahwa semakin kita membiarkan setiap suara bernyanyi dengan nadanya sendiri, semakin kaya keanekaragaman nyanyian yang dilagukan dengan serempak.

Yang dimaksud rasional atas adalah menggunakan akal pikiran sebagai landasan ide dan kemampuan kita membaca realitas sosial yang berkembang. Seperti yang dikatakan Rene Descartes (1596-1650) bahwa dalam masalah-masalah yang hendak kita selidiki, penyelidikan kita haruslah diarahkan, bukan pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, juga bukan pada apa yang kita perkirakan sendiri sendiri, namun pada apa yang bisa kita simpulkan secara pasti, karena pengetahuan tidak bisa diperoleh dengan cara lain. Sekilas memang tampak konradiktif dengan cara hegel tesis-antitesis-sintesis. Tetapi sebenarnya tidak. Yang ada pertama adalah realita. Dari sini kita menggunakan pernyataan Descartes tadi. Maka akan timbul ilmu pengetahuan (baca:ide) yang baru. Dan tidak menutup kemungkinan hal ini akan dilakukan oleh banyak orang sehingga akan menghasilkan lebih banyak ide. Sehingga kemudian pertukaran pemikiran terjadi dan sintesispun akan terjadi. Dari sintesis ini dapat dijadikan rekomendasi untuk melahirkan sebuah perubahan. Inilah proses ”alami” itu. Tidak demikian halnya apabila kita sedang bersandiwara. Untuk itulah pertukaran pemikiran menjadi penting dan resistensi lebih penting lagi untuk menciptakan tata kehidupan yang seimbang. Agar proses-proses ini berjalan efektif diperlukan suatu iklim yang demokratis dan intelektual. Iklim intelektual diperlukan dalam upaya penciptaan ide. Dan secara singkat demokrasi diperlukan untuk menyemarakkan ide dan resistensi. Serta mencegah otoriternya penguasa sehingga sandiwara terhadap perubahan dengan otomatis dapat dicegah. Yang dimaksud resistensi disini adalah perlawanan ide. Resistensi perlu dikembangkan, selain tentunya perlu mengembangkan sikap toleransi atas perbedaan pendapat yang terjadi. Semakin banyak ide berkembang maka peluang keterjadian sebuah perubahan menjadi lebih besar dan lebih mampu menciptakan perubahan yang berkualitas. Bisa dibayangkan pula apabila dalam suatu komunitas dipimpin oleh otoritas yang begitu dominan, maka siapapun yang pasti tidak akan bisa menjamin akan terjadi sebuah perubahan berkualitas dan bisa mengakomodasi setiap kepentingan dalam komunitas yang dipimpinnya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah menciptakan sebuah sandiwara tentang perubahan sebagai sebuah formalitas untuk menciptakan suatu kondisi seolah-olah paham akan perubahan realitas sosial yang terjadi karena kekuasaan ada dan didapat untuk dipertahankan, tidak hanya lewat personal, tetapi meliputi juga kepentingan dan pemikiran. Pada akhirnya proses perubahan ini haruslah diarahkan kepada sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga bisa menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang lebih baik pula.

Lalu bagaimana dengan negara kita? masyarakat kita? Yang jelas kita percaya manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi derajadnya, yang dianugerahi akal dan pikiran yang paling baik kualitasnya. Adakalanya kita harus berfikir dan bertindak secara kritis dan objektif, meskipun pahit. Apalagi sebagai seorang mahasiswa yang notabene dibesarkan oleh tradisi intelektual yang kental, kejujuran kita untuk berfikir dan bertindak sangat diperlukan. Maka tak heran apabila ada yang mengatakan bahwa tanggung jawab intelektual adalah tentang pengabdian. Dan perubahan adalah salah satunya.

Bertindaklah sedemikian rupa sehingga selalu menghargai kemanusiaan, baik yang terdapat dalam dirimu sendiri maupun sembarang orang lain, bukan hanya sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan. Immanuel Kant (1724-1804)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

merdeka....

Posting Komentar