Manusia Tanpa Upacara

on Kamis, 14 Mei 2009
Sejak SD sampai SMA hampir tiap senin kita mengikuti upacara. Sebagai umat beragamapun,sering kita mengikuti upacara-upacara keagamaan kita. Lantas ada apakah dengan upacara2 ini?

Setiap individu hampir pasti memiliki atribut-atribut yang melekat pada dirinya sbg hasil maupun konsekuensi dari sosialiasasinya dengan bemacam dogma&pemikiran,maupun sebagai sarana komunikasi dengan posisinya sebagai manusia yang berkebutuhan. Hingga bisa dikatakan kalau hal-hal yang menyebabkan adanya atribut itu hilang,hilang pula konsekuensi dari adanya atribut tersebut. Dengan kata lain, suatu hal akan hilang apabila variabel-variabel yang menyebabkan hal itu ada hilang juga. Lantas,bagaimana kalau seandainya itu terjadi pada diri manusia? Manusia pada titik nol, mungkin bisa dikatakan demikian. Manusia tanpa nilai,dan manusia yang benar2 berkuasa pada dirinya,mungkin..Bukan semacam pemberontakan,tapi upacara telah menjadi semacam penyimbolan kita. Bahkan keseharian telah menjadi semacam upacara. Suatu mental perbondongan mungkin saja,dan bisa menenggelamkan manusia pada ketidaksadaran massal. Hingga akhirnya kita sampai pada suatu titik,apakah harus kita ciptakan ruang kita sendiri sebagai sarana bereksistensi? Ada suatu pemecahan menarik dr heidegger. Bukan menarik diri dari keseharian,tetapi tidak pula hanyut dalam keseharian.

Dengan menarik diri dari keseharian, dalam satu titik memang kita bisa mengerti makna ada ny kita. Tapi yang demikian adalah pengecut, karena ide dan gagasan butuh realisasi. Dan pemaknaan dan memberikan sentuhan rasional thd keseharian lah yang menjadi kunci. Hingga saat keseharian telah menjadi semacam upacara, kita tetap mampu untuk tidak tercerabut dari kealamiahan kita. Dimana kecemasan menjadi pintu masuk bagi tersingkapnya ke"ada"an kita. Kecemasan memberi ruang perenungan sekaligus memberikan kesadaran akan keterlemparan kita di dunia ini...

0 komentar:

Posting Komentar