Kewajiban Perpajakan Dokter

on Sabtu, 23 Januari 2010
Jasa dibidang pelayanan kesehatan medik menurut Peraturan Pemerintah Nomor 144 tahun 2000 termasuk jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (Pasal 6).

Kewajiban perpajakan pada dokter (PPh) terutama mengacu pada Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 36 tahun 2009 ; “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini…”. Selanjutnya pada penjelasan pasal 4 tersebut disebutkan “Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: i. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya...

Dokter biasanya memperoleh penghasilan dari prakteknya dirumah sakit dan penghasilan dari tempat praktek pribadinya. Kedua sumber penghasilan tersebut digabung dan dilaporkan menggunakan form 1770. Untuk penghasilan dari rumah sakit dilaporkan pada form 1770 lampiran II, dan untuk penghasilan yang berasal dari tempat praktek pribadinya dilaporkan pada form 1770 lampiran I. Selain itu dalam pelaporan ini juga harus dimintakan bukti potong PPh 21 pada rumah sakit tempat dokter bekerja.

Mengenai penghasilan yang berasal dari tempat praktek pribadi dokter bisa menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (asumsi dokter menggunakan pencatatan). Untuk menghitung penghasilan netto menggunakan rumus penghasilan Bruto setahun X % norma. Adapun persentase norma adalah sebagai berikut :
45% : 10 ibukota propinsi (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak)
42.5% : Kota propinsi Lainnya
40% : Kota lainnya.

Norma penghitungan penghasilan neto boleh digunakan apabila penghasilan bruto kurang dari Rp 4.800.000.000,00. WP yang memilih untuk menggunakan norma penghitungan penghasilan neto wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 UU No 36 Tahun 2008). Adapun menurut PER - 4/PJ/2009 Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Selanjutnya adalah mengenai PPh Pasal 25, hal ini mengacu pada sistem perpajakan kita yang menganut prinsip "convenice to pay" yang berari bahwa wajib pajak diharapkan membayar pada saat yang menguntungkan dirinya. Salah satu contohnya adalah membayar angsuran pajak setiap bulan. Dengan adanya pembayaran angsuran pajak maka wajib pajak lebih ringan bebannya dalam membayar beban pajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya bagi pemerintah akan ada pemasukan untuk membiayai operasional pemerintahan. Angsuran pembayaran pajak ini nantinya akan diperhitungkan dengan PPh terutang pada akhir tahun didalam SPT Tahunan. PPh Pasal 25 dihitung menurut SPT Tahunan tahun pajak yang sebelumnya, lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

0 komentar:

Posting Komentar