Tentang Nikah (2) – Sebuah Harapan akan Keharmonisan-

on Jumat, 22 Januari 2010
Kemarin sore mendengar kabar ada kawan yang mau menikah. Malamnya pun berpikir tentang nikah. Dan entah mengapa memang ada hubungan nikah dengan harmonisasi sosial, setidaknya menurut saya…

Nikah, dan tujuannya, dianggap sebagai sarana “melestarikan” keturunan. Artinya dengan menikah akan dilahirkan keturunan yang akhirnya, pada umumnya, diharapkan berguna bagi keluarga, nusa, bangsa, dan agama (dengan tidak mengecilkan urutan terakhir, karena semua dianggap sama pentingnya). Begitulah kira-kira harapan umum masyarakat kita pada anak-anaknya. Dan berketurunan adalah mengenai regenerasi. Regenerasi menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karangan Indrawan WS adalah “pembaruan semangat dan tata susila; penggantian alat yang rusak atau yang hilang dengan pembentukan jaringan sel baru; penggantian generasi tua kepada generasi muda”. Dari itu bisa kita sarikan kalau regenerasi identik dengan penggantian. Dan saya kira sepakat, bahwa dari definisi regenerasi diatas sangat berkaitan erat dengan yang namanya tujuan pernikahan, yaitu untuk berketurunan.

Selanjutnya beregenerasi adalah mengenai berproduksi, dalam artinya penggantian (regenerasi) harus diiringi dengan manfaaat/hasil menghasilkan (produksi). Penggantian tanpa manfaat adalah ahistoris. Dan penggantian (baca; regenerasi), karena kita hidup dalam suatu komunitas, baik yang homogen sekalipun, akan mengalami perluasan makna; tidak melulu soal regenerasi biologis tetapi sudah sampai pada tataran peran sosial bagi setiap individu.

Contoh sederhana, seorang yang menikah akan sedikit banyak akan mengalami pergeseran peran sosialnya. Lebih konkretnya, biasanya yang telah menikah akan memiliki waktu yang lebih banyak banyak untuk pasangan atau keluarganya daripada waktu-waktu yang ia habiskan bersama kawan-kawan untuk kongkow-kongkow saat masih masih lajang. Dan peran berkongkow-kongkow itulah yang digantikan oleh manusia lain, yang barangkali saat ia masih eksis dalam peran sosial sebelumnya (baca;kongkow-kongkow), manusia itu masih belum tahu dan menyadari makna “perbondongan” yang “seharusnya” saat ini ia emban. Dan inilah regenerasi, suatu proses “seleksi alam” yang barangkali kita tidak bisa menolaknya.

Dan yang menjadi masalah selanjutnya adalah adanya pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi diatas atas dasar kepentingannya sehingga terjadi distorsi “penggantian-menghasilkan” diatas. Proyek regenerasi jangan sampai menjadi hanya sekedar objek komoditas, dengan kata lain hanya menjadi konsumen dari jaman yang semakin sulit kita prediksi ini. Dalam proses ini dunia seakan telah menjelma menjadi rimba yang teramat luas dan ganas. Dan tak ada bekal yang lebih ampuh selain kematangan berpikir.

Selanjutnya, menurut hemat saya penggantian-menghasilkan adalah harga mati. Setiap regenerasi harus menjadikan sesuatu yang lebih baik kedepannya. Mungkin masalah sistem yang telah mengakar sehingga menjadi suatu kebiasaan. Mungkin juga ini mengenai pertentangan-pertentangan antara “tangan-tangan yang tak tampak” yang tak kita sadari telah menguasai kehidupan kita. Bagaimanapun juga manusia adalah subjek bagi dunianya, meski terkadang ia menjadi objek bagi dunia manusia lain, tetapi hendaknya hasrat berpasangan yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk pernikahan hendaknya menjadikan manusia lebih tersadar makna dirinya –berbagi dan menjadi-. Berbagi karena pada kodratnya manusia diciptakan berpasangan dan menjadi karena manusia adalah makhluk yang senantiasa berproses.

Dan akhirnya mungkin bukan suatu kebetulan, kita apabila ditanya tentang keluarga idaman adalah keluarga yang harmonis; harmonis diantara anggota keluarga, harmonis antara keluarga dengan komunitas dan masyarakat yang menciptakan sebuah harmonisasi sosial, dan pada akhirnya harmonis antara manusia dengan alam.

0 komentar:

Posting Komentar