Saat ini kau hanya bisa bilang saat itu. Waktu konon tak
bersemayam dalam setiap diri manusia. Bukan sebuah materi, tetapi
seperti halnya materi, yang dengannya pertentangan bisa bermula. Menyadari saat
itu disaat ini kata orang terlambat, karena waktu tidak bisa berbalik.
Menggilas dengan kejam manusia-manusia yang terlena, dan hingga saatnya tiba,
waktu bisa menjadi pemicu pertentangan dalam dirinya; penyesalan. Hanya manusia
yang mengenal dirinya yang mampu mensemayamkan waktu. Seperti udara yang bisa
kita rasakan sewaktu menyadarinya, ia pun demikian. Terus berhembus, seolah
yang ada (atau memang yang benar-benar ada?) adalah yang hinggap didepan
keadaan kita.
Waktu lampau sudah tidak ada, berpindah dan bersemanyam,
entah di dunia mana. Mungkin di dunia khayalan. Setiap manusia tentu saja
mempunyai dunia khayalnya. Terkadang mengotak-atiknya, sehingga sesuatu yang
memang tidak pernah ada menjadi seolah ada dan nyata. Karena, bukankah tak ada
beda antara yang pernah ada dengan yang tak pernah ada di dunia khayal manusia.
Dunia yang sangat indah bagi sebagian orang, karena ia bebas menciptakan apa
saja.
Waktu mendatang tentu saja belum ada, dan belum pernah ada.
Aktualisasi dunia khayal mendapat wilayah yang cukup lebar dan nyaman. Manusia
bisa mengantisipasi sejarahnya. Dan
dengan kondisi-kondisi tertentu manusia tentu saja bisa merubah “waktu lalu”
diwilayah ini. Menghilangkan rasa penyesalan hingga akhirnya ia terbebas dari
belenggu khayalan. Proses penciptaan yang dramatis, karena memang manusia
adalah makhluh yang berkendak.
Dengan waktu manusia
bisa berubah. Pembacaan waktu dengan bijak bisa memunculkan apa yang dinamakan
hikmah. Hikmah bukan candu. Menjadikan hikmah sebagai pembenaran akan kelemahan
bisa membawa kearah stagnasi yang memabukkan. Kelemahan bisa menjadi pembenar
atas segala kenyamanan. Bisa jadi ia adalah kompromi dua kutub yang
berseberangan. Dan waktu.. seolah ia berdiri disuatu tempat yang rapat,
mengamati kita dengan sunyumnya...
0 komentar:
Posting Komentar